Dogiyai, 25 Juli 2025 – Dalam masyarakat adat Papua, khususnya di wilayah pegunungan seperti Lembah Kamuu, Kabupaten Dogiyai, babi memiliki nilai budaya yang sangat tinggi. Lebih dari sekadar hewan ternak, babi adalah simbol kekayaan, status sosial, dan kehormatan dalam kehidupan masyarakat suku Mee dan suku-suku lain di wilayah Papua Gunung.
Kepemilikan babi mencerminkan keberhasilan seseorang dalam mengelola rumah tangga, memperluas jaringan sosial, serta menunjukkan kemampuan seseorang dalam memikul tanggung jawab adat. Semakin banyak babi yang dimiliki, semakin tinggi pula kedudukan seseorang di mata masyarakat.
Babi dalam Ritual dan Relasi Sosial
Dalam berbagai upacara adat seperti pernikahan, kelahiran, pesta adat (yuwo), kematian, hingga penyelesaian konflik, babi memiliki peran sentral. Misalnya, dalam pernikahan adat, keluarga laki-laki wajib menyerahkan sejumlah babi sebagai mas kawin, yang juga menjadi bentuk penghargaan terhadap keluarga perempuan.
Pada saat kematian, babi dikorbankan sebagai penghormatan terakhir kepada orang yang meninggal. Sementara dalam penyelesaian konflik, babi menjadi bentuk kompensasi dan perdamaian antara pihak yang bertikai.
“Babi bukan hanya untuk dimakan, tetapi simbol kehormatan, pemberian yang luhur, dan keikhlasan hati,” demikian disampaikan Yuliten Yobee, S.Ap, alumni Universitas Widya Mataram Yogyakarta yang menulis kajian budaya ini.
Tonawi dan Babi: Ukuran Kebijaksanaan dan Kepemimpinan
Bagi seorang Tonawi—tokoh adat di kalangan masyarakat Mee—kepemilikan babi dalam jumlah besar menjadi indikator kehormatan dan tanggung jawab. Ia dihormati karena mampu menyumbang babi untuk masyarakat, membantu saat kesusahan, dan menjaga harmoni antarkelompok lewat pemberian simbolik.
Babi juga sering digunakan sebagai alat diplomasi adat dalam menjaga relasi sosial dan memperkuat persatuan komunitas.
Ancaman Modernisasi: Makna yang Mulai Terkikis
Namun, arus modernisasi perlahan mengikis nilai-nilai luhur ini. Ekonomi uang, gaya hidup konsumtif, dan individualisme mengubah pandangan terhadap babi—dari simbol sosial menjadi aset pribadi. Generasi muda mulai kehilangan pemahaman akan makna spiritual dan sosial dari hewan yang dulu dianggap sebagai “emas berjalan” ini.
Untuk itu, Yuliten mengajak semua elemen—gereja, sekolah, pemerintah, dan orang tua—untuk mengajarkan kembali filosofi babi dalam budaya Mee melalui pendidikan formal dan informal.
“Melestarikan nilai adat bukan berarti menolak kemajuan, tetapi mengikat kemajuan dengan identitas,” ujarnya.
Menjaga Warisan Leluhur
Menjaga makna babi dalam budaya Papua Gunung adalah bagian dari menjaga harmoni, identitas, dan hubungan manusia dengan leluhur. Di tengah arus perubahan zaman, warisan budaya ini tetap penting untuk diwariskan ke generasi mendatang.
Oleh: Yuliten Yobee, S.Ap.
Alumni Universitas Widya Mataram Yogyakarta
[Nabire.Net]
Post Views: 85