Sinyal 2 GHz Starlink-SkyFive Berisiko Ganggu Frekuensi 4G dan 5G

5 hours ago 3

Selular.id – Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) sedang mengkaji pembukaan pita frekuensi 2 GHz untuk teknologi Non-Terrestrial Network Direct-to-Device (NTN-D2D) dan Air-to-Ground (A2G).

Kajian ini muncul di tengah kekhawatiran sinyal 2 GHz yang digunakan Starlink dan SkyFive dapat mengganggu layanan internet 4G dan 5G Indonesia yang bergerak di pita 2,1 GHz.

Kedua pita tersebut berdekatan, sehingga berpotensi menimbulkan interferensi sinyal.

Kepala Bidang Media Asosiasi Satelit Seluruh Indonesia (Assi) Firdaus Adinugroho menyatakan kehadiran teknologi NTN-D2D dan A2G di Indonesia merupakan keniscayaan.

Menurutnya, sebagai negara kepulauan terbesar, inovasi ini sangat strategis untuk memperkuat kedaulatan dan pemerataan konektivitas digital Tanah Air.

Namun, Daus mengingatkan tantangan utama terletak pada keterbatasan spektrum frekuensi, termasuk potensi terjadinya interferensi sinyal antara layanan satelit baru dan layanan existing.

“Tantangan terbesarnya adalah keterbatasan spektrum frekuensi,” kata lelaki yang akrab disapa Daus kepada Bisnis, Kamis (23/10/2025).

Menurutnya pita tersebut berdekatan dengan teknologi 4G dan 5G yang digunakan di Indonesia.

Pita 2 GHz atau 2000 MHz berada di antara pita 4G dan 5G, yang jika diaktifkan ada sedikit kekhawatiran gangguan atau interferensi.

Pita Frekuensi yang Digunakan Operator Seluler

Sekadar informasi, Telkomsel dan Indosat saat ini menggunakan beberapa pita frekuensi utama untuk menggelar layanan 4G dan 5G di Indonesia.

Pada jaringan 4G, keduanya memakai pita 900 MHz (Band 8), 1800 MHz (Band 3), dan 2100 MHz (Band 1), dengan Telkomsel juga memanfaatkan pita 2300 MHz (Band 40).

Indosat menggunakan pita 1,8 GHz dan 2,1 GHz, pun dengan XLSMART juga memiliki layanan di 2,1 GHz.

Untuk layanan 5G, Telkomsel menggelar di pita 1800 MHz, 2100 MHz, dan terutama 2300 MHz, sementara Indosat memulai 5G di pita 1800 MHz.

Adapun saat ini spektrum 2 GHz Starlink dan SkyFive untuk memberi layanan langsung ke darat. Perangkat-perangkat yang ada di bumi dapat mengakses sinyal tersebut.

Isu keterbatasan spektrum frekuensi ini bukan hal baru di Indonesia.

Sebelumnya, pemerintah juga menghadapi tantangan dalam mengoptimalkan penggunaan spektrum frekuensi lainnya, termasuk spektrum 700 MHz yang belum kunjung dilelang.

Optimalisasi spektrum frekuensi menjadi krusial mengingat tingginya permintaan konektivitas digital.

Tiga Prioritas Kebijakan Spektrum Frekuensi

Daus menambahkan untuk mengimplementasikan pita tersebut, pemerintah harus memprioritaskan kebijakan pada tiga hal utama yaitu efisiensi serta optimalisasi penggunaan spektrum frekuensi terbatas untuk kepentingan nasional yang seluas-luasnya.

Kedua, koeksistensi harmonis antar layanan satelit baru dan existing, guna mencegah interferensi dan menjaga kualitas serta stabilitas jaringan.

“Ketiga, penerapan prinsip level playing field agar seluruh pemain—baik perusahaan asing maupun operator lokal—bisa berinvestasi serta berinovasi secara sehat dan berkeadilan,” kata Daus.

Prinsip ini diharapkan dapat menciptakan ekosistem digital yang kompetitif namun tetap mengutamakan kepentingan nasional.

Teknologi NTN-D2D memungkinkan perangkat seluler seperti ponsel dan laptop terhubung langsung ke satelit tanpa menara BTS, sementara A2G memfasilitasi komunikasi antara pesawat dengan jaringan darat.

Solusi ini digadang sebagai langkah strategis pemerataan konektivitas nasional, terutama di wilayah terpencil, perairan, dan jalur udara Indonesia yang selama ini sulit dijangkau jaringan konvensional.

Inovasi serupa dalam pemanfaatan spektrum frekuensi juga tengah dikembangkan secara global.

Globalstar, misalnya, sedang menguji coba mid-band untuk memaksimalkan layanan 5G.

Sementara itu, terobosan dalam konektivitas satelit terus bermunculan, termasuk jaringan seluler 4G pertama di bulan yang diluncurkan Nokia.

Sebelumnya, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) tengah mengkaji regulasi dan kebijakan terkait potensi implementasi di pita frekuensi 2 GHz.

Komdigi membuka ruang masukan publik mengenai regulasi ini hingga 9 November 2025, termasuk dari pelaku industri, operator telekomunikasi, asosiasi dan masyarakat luas.

Kebijakan ini akan menentukan masa depan konektivitas digital Indonesia, terutama dalam menyeimbangkan antara inovasi teknologi baru dengan perlindungan terhadap layanan existing.

Pemerintah dituntut untuk membuat keputusan yang tepat guna memastikan kualitas layanan telekomunikasi tetap terjaga sambil terus mendorong pemerataan konektivitas di seluruh wilayah Indonesia.

Read Entire Article
Kepri | Aceh | Nabire | |