Selular.id – Aplikasi pesan instan menjadi sarang penipuan digital di Indonesia berdasarkan laporan terbaru State of Scams in Indonesia 2025.
Data menunjukkan 67% kasus penipuan terjadi melalui platform pesan singkat, dengan WhatsApp dan Telegram sebagai media paling banyak dimanfaatkan pelaku kejahatan siber.
Laporan yang dirilis Global Anti-scam Alliance (GASA) bersama Indosat Ooredoo Hutchison ini mengungkap WhatsApp mendominasi dengan kontribusi 89% dari total penipuan di aplikasi pesan.
Telegram menyusul di posisi kedua dengan 40%, sementara WeChat tercatat 3%.
Temuan ini mengonfirmasi tren peningkatan modus penipuan melalui platform komunikasi yang selama ini banyak digunakan masyarakat.
Selain aplikasi pesan, media sosial juga menjadi ladang subur bagi para penipu dengan persentase mencapai 48%.
Facebook memimpin dengan 37%, diikuti Instagram 28%, TikTok 13%, dan platform X sebelumnya Twitter sebanyak 9%.
Aplikasi kencan Tinder tidak luput dari praktik ini dengan catatan 2%, sementara email seperti Gmail dan Outlook.com masing-masing menyumbang 32% dan 2%.
Metode Penipuan yang Beragam
Penipuan tidak hanya terjadi melalui pesan teks, tetapi juga merambah ke komunikasi suara dan SMS.
Sebanyak 64% kasus dilakukan melalui panggilan suara, sementara 59% lewat pesan singkat tradisional.
Pola ini menunjukkan pelaku kejahatan menggunakan berbagai saluran komunikasi untuk menjangkau korban potensial.
Masyarakat perlu mewaspadai berbagai modus penipuan WhatsApp yang terus berkembang.
Seperti yang pernah diungkap dalam laporan sebelumnya, teknik social engineering menjadi senjata utama para penipu untuk memanipulasi psikologi korbannya.
Alasan Korban Terjebak Penipuan
Laporan ini juga mengungkap faktor-faktor yang membuat seseorang menjadi korban penipuan digital.
Sebanyak 22% responden mengaku tergiur penawaran menguntungkan yang diberikan pelaku.
Kemampuan penipu menyajikan skenario yang realistis dan dapat dipercaya menjadi alasan 16% korban.
Kecepatan aksi penipuan sebelum korban menyadari sedang ditipu menjadi faktor penentu bagi 15% responden.
Sementara 11% korban mengaku kurang pengalaman karena baru pertama kali menggunakan platform tertentu, sehingga tidak mampu mengidentifikasi tanda-tanda penipuan.
Sebanyak 11% lainnya menyebut ketidaktahuan tentang praktik penipuan dengan meniru identitas seseorang (impersonation) sebagai penyebab utama.
Temuan ini menggarisbawahi pentingnya edukasi berkelanjutan tentang keamanan digital bagi seluruh lapisan masyarakat.
Masyarakat disarankan untuk mempelajari berbagai modus penipuan WhatsApp yang kerap menargetkan pengguna di Indonesia.
Pemahaman mendalam tentang teknik-teknik yang digunakan pelaku dapat menjadi tameng pertama mencegah kerugian finansial.
Dampak Psikologis pada Korban
Dampak penipuan tidak hanya bersifat finansial, tetapi juga meninggalkan trauma psikologis yang signifikan.
Lebih dari setengah korban (51%) melaporkan mengalami stres berat setelah menjadi korban scam.
Kondisi ini menunjukkan bahwa penipuan digital tidak hanya merugikan secara materi, tetapi juga mengganggu kesehatan mental korban.
Peningkatan kasus penipuan melalui WhatsApp membuat otoritas seperti Kominfo memberikan saran khusus untuk menghindari modus-modus tertentu yang sedang marak.
Kolaborasi antara regulator, penyedia layanan, dan masyarakat dinilai crucial untuk meminimalisir korban.
Data dari laporan State of Scams in Indonesia 2025 ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi semua pemangku kepentingan dalam menyusun strategi pencegahan yang lebih komprehensif.
Perlindungan konsumen di ruang digital membutuhkan pendekatan multidimensi yang melibatkan aspek regulasi, teknologi, dan edukasi secara simultan.
Perkembangan modus penipuan yang semakin canggih menuntut kewaspadaan tinggi dari setiap pengguna teknologi digital.
Masyarakat disarankan untuk selalu verifikasi informasi yang diterima, tidak terburu-buru mengambil keputusan finansial, dan melaporkan setiap aktivitas mencurigakan kepada otoritas terkait.



































