SELULAR.ID – Peneliti dari Microsoft dan Carnegie Mellon University belum lama ini menerbitkan makalah dari hasil penelitian mengenai penggunaan AI generatif di tempat kerja. Dalam kesimpulannya, ketergantungan kepada AI generatif bisa menimbulkan dampak pada keterampilan berpikir kritis.
Pekerja yang mengandalkan AI generatif dalam produktivitasnya, akan mengalami pergeseran fokus dari berpikir kritis, menjadi hanya sekadar memverifikasi apakah jawaban yang dihasilkan AI generatif cukup baik untuk digunakan.
Kegiatan menganalisis, mengevaluasi, atau menciptakan informasi sendiri baru akan dilakukan, ketika AI generatif dianggap tidak memberikan jawaban sesuai yang mereka inginkan, atau tidak memadai.
Hal ini berdampak pada penurunan berpikir kritis, memiliki penilaian yang lemah, sehingga tidak siap menghadapi situasi yang tidak bisa diselesaikan oleh AI. Dengan kata lain, semakin banyak mengandalkan kerja AI, maka semakin lemah kemampuan seorang pekerja dalam menyelesaikan masalahnya, terutama saat AI tak bisa diandalkan.
Baca juga: Telkom Salurkan Bantuan Sanitasi Air Bersih ke 232 Lokasi di Indonesia
“Jika digunakan dengan cara yang salah, teknologi bisa menyebabkan penurunan kemampuan kognitif yang seharusnya tetap terasah,” tulis para peneliti dalam makalah mereka, mengutip TechCrunch.
Dalam penelitian yang dilakukan, terdapat 319 responden yang diteliti. Mereka adalah para pekerja yang setidaknya menggunakan AI generatif seminggu sekali untuk menyelesaikan pekerjaannya. Mereka diminta menjelaskan bagaimana menggunakan AI generatif di tempat kerjanya.
Dari hasil penggunaan AI generatif di tempat kerja, terdapat tiga kategori penggunaan AI generatif. Pertama, untuk kreasi yakni digunakan sebagai menulis email formal kepada rekan kerja. Kedua, sebagai informasi, yakni mencari referensi atau merangkum artikel panjang. Ketiga, menjadikan AI sebagai saran, yakni meminta cara mengubah data menjadi grafik dalam sebuah laporan pekerjaan dan presentasi.
Dalam penelitian, sang peneliti juga menanyakan kepada responden, apakan para responden tetap menggunakan keterampilan berpikir kritisnya saat melakukan tugas tersebut. Termasuk, apakah AI generatif membuat mereka berpikir lebih mendalam, atau justru sebaliknya.
Selain itu, mereka juga diminta mengukur seberapa besar kepercayaan diri mereka terhadap AI, terhadap diri sendiri, serta terhadap kemampuan mereka dalam mengevaluasi hasil yang diberikan AI.
Hasilnya, hanya sekitar 36 persen peserta mengatakan mereka tetap menggunakan keterampilan berpikir kritis untuk menghindari dampak negatif dari AI.
Salah satu peserta menyebutkan bahwa ia menggunakan ChatGPT untuk menulis evaluasi kinerja karyawan, tetapi tetap melakukan pengecekan ulang agar tidak mengajukan laporan yang bisa menyebabkan masalah serius.
Peserta lain menyebutkan bahwa ia harus mengedit ulang email yang dihasilkan AI sebelum mengirimkannya ke atasan, karena budaya di perusahaannya sangat menekankan hirarki dan usia.
Banyak peserta juga melakukan verifikasi ulang dengan mencari informasi di Google, YouTube, atau Wikipedia, yang ironisnya justru menghilangkan manfaat utama dari penggunaan AI.
Baca juga: Tuntas Sudah Karir Pekka Lundmark Sebagai CEO Nokia
Dalam penelitian juga diungkapkan, bahwa sebagian besar pekerja yang menggunakan AI generatif tidak menyadari bahwa AI bisa menghasilkan sesuatu yang keliru. Sebanding dengan masalah kepercayaan kepada AI, semakin percaya dengan hasil kerja AI, maka seseorang lebih jarang berpikir kritis.
Sebaliknya, semakin percaya pekerja dengan kemampuannya sendiri, maka semakin rendah kepercayaan mereka terhadap hasil kerja AI. Dalam makalah, para peneliti tidak secara langsung menyebut bahwa AI generatif membuat manusia menjadi bodoh. Peneliti menekankan, ketergantungan berlebihan pada AI bisa melemahkan kemampuan pekerja untuk berpikir mandiri dan menyelesaikan masalah secara kritis.
Simak berita menarik lainnya dari Selular.id di Google News