Paradoks Harga Starlink di Indonesia: Solusi Digital Mahal untuk Daerah Terpencil

5 hours ago 3

Selular.id – Starlink telah resmi beroperasi di Indonesia sejak Mei 2024 dengan misi mulia: menjembatani kesenjangan digital di wilayah-wilayah yang belum terjangkau jaringan fiber optik atau 5G. Namun, di balik janji internet cepatnya, terdapat paradoks nyata. Layanan satelit milik SpaceX ini secara fisik terhubung ke daerah terpencil, tetapi secara finansial masih sulit diakses oleh banyak rumah tangga yang sebenarnya paling membutuhkannya.

Data Opensignal mengungkap pola penggunaan yang menarik. Hampir 60% pengguna Starlink di Indonesia berlokasi di daerah pedesaan. Angka ini sangat kontras dengan layanan Fixed Wireless Access (FWA) yang hanya 24% dan telepon tidak bergerak yang hanya 7% penggunanya berada di wilayah pedesaan. Distribusi geografisnya pun jelas: kehadiran Starlink paling kuat di wilayah kurang urban seperti Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua, sementara FWA masih mendominasi pasar di Pulau Jawa.

Fenomena ini menggarisbawahi peran Starlink sebagai pengisi celah konektivitas di daerah-daerah di mana jaringan terestrial tradisional kesulitan menjangkau. Banyak kabupaten di Kalimantan, Maluku, dan Papua bahkan mengalami lebih dari 5% waktu tanpa sinyal seluler sama sekali, menciptakan peluang besar bagi teknologi satelit seperti Starlink.

Paradoks Harga: Terhubung Secara Teknis, Terputus Secara Finansial

Meskipun kehadirannya kuat di pedesaan, harga Starlink menjadi penghalang utama adopsi massal. Biaya perangkat keras dan langganan bulanan yang tinggi membuat layanan ini tetap menjadi solusi premium yang hanya terjangkau segelintir orang.

Starlink Mini Kit saat ini dijual seharga Rp 4,75 juta, jauh melampaui harga router 4G FWA dari operator domestik yang bisa dimulai dari Rp 400.000 saja. Bahkan untuk perangkat standar, meski harganya sudah turun dari Rp 7,8 juta menjadi Rp 5,9 juta, Starlink masih memberlakukan biaya lonjakan permintaan tambahan sebesar Rp 8-9,4 juta, menjadikan biaya masuk awal semakin berat.

Biaya bulanan juga tidak kalah mahal. Paket Residensial Lite seharga Rp 479.000 per bulan masih jauh di atas sebagian besar paket FWA yang jarang melebihi Rp 300.000. Padahal, seperti diungkap dalam laporan Selular.id sebelumnya, konsumen sudah menghadapi berbagai biaya tinggi dalam menggunakan layanan ini.

Perbandingan Keterjangkauan dengan Alternatif Lain

Kesenjangan harga Starlink semakin terasa ketika dibandingkan dengan pendapatan rata-rata masyarakat Indonesia. Dengan upah bulanan rata-rata sekitar Rp 3,09 juta, paket Residensial Lite Starlink menghabiskan hampir seperenam dari penghasilan tersebut, sementara paket reguler mendekati seperempatnya.

Sementara itu, alternatif FWA menawarkan harga yang jauh lebih bersahabat:

  • IndiHome fiber: Rp 230.000-Rp 490.000 untuk kecepatan 50-200Mbps
  • Telkomsel Orbit: Rp 82.000-Rp 410.000 untuk kuota 45GB
  • XL Satu Lite: Rp 105.000-Rp 285.000 untuk paket Value 48GB
  • IOH – HiFi Air: Rp 75.000-Rp 250.000 untuk paket 75GB

Bahkan dengan kuota data yang besar, sebagian besar paket FWA tetap berada di bawah Rp 300.000 per bulan. Belum lagi adanya ISP tidak berlisensi yang tersebar luas di berbagai daerah, yang semakin menekan biaya akses internet bagi masyarakat.

 Solusi Digital Mahal untuk Daerah Terpencil

Seperti yang diungkap dalam pemberitaan Selular.id, tingginya permintaan terhadap Starlink sempat membuat perusahaan menghentikan sementara pendaftaran pelanggan baru, menunjukkan adanya ketidakseimbangan antara supply dan demand.

Fokus Awal pada Layanan Komunal

Strategi awal Starlink di Indonesia cukup cerdas dengan fokus pada penghubungan 2.700 klinik kesehatan dan puskesmas di seluruh negeri. Pendekatan ini membuat biaya per pengguna menjadi lebih hemat ketika digunakan secara komunal. Namun, bagi rumah tangga individu yang ingin memasang akses internet di rumah, model bisnis ini justru membatasi akses.

Inisiatif pemerintah juga turut mempengaruhi lanskap konektivitas di Indonesia. Seperti dilaporkan Selular.id, terdapat rencana untuk menyediakan internet murah untuk sekolah di seluruh Indonesia, yang mungkin tidak mengandalkan Starlink sebagai solusi utama.

Regulator telekomunikasi Indonesia, Komdigi, telah mengalokasikan blok 80 MHz di pita 1,4 GHz untuk memungkinkan layanan FWA yang lebih terjangkau, dengan perkiraan harga antara Rp 100.000 dan Rp 150.000 per bulan. Beberapa operator seperti Surge dan MyRepublic telah mendapatkan lisensi regional melalui lelang frekuensi tersebut.

Masa Depan Konektivitas Pedesaan Indonesia

Kehadiran Starlink di Indonesia hingga saat ini lebih bersifat melengkapi daripada mengganggu pasar internet yang sudah ada. Layanan ini berhasil memperluas konektivitas ke daerah-daerah yang tidak terjangkau jaringan terestrial, namun keterjangkauan yang terbatas membatasi dampak sosial yang bisa dicapai.

 Solusi Digital Mahal untuk Daerah Terpencil

Meskipun permintaan di daerah pedesaan cukup kuat, biaya tinggi dan struktur harga yang berlaku membuat Starlink tetap tidak terjangkau bagi banyak masyarakat. Padahal, keterjangkauan merupakan komponen penting dalam mengatasi masalah inklusi digital.

Ada harapan untuk perbaikan di masa depan. Perusahaan telah menurunkan harga untuk kit Starlink Mini di beberapa pasar seperti Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Australia, dan Zimbabwe. Beberapa negara di Eropa juga sudah menikmati penurunan biaya layanan bulanan. Kesuksesan jangka panjang Starlink di Indonesia akan sangat bergantung pada kemampuan perusahaan dalam membuat layanannya lebih terjangkau bagi masyarakat luas.

Dengan potensi yang dimilikinya, Starlink masih memiliki peluang signifikan untuk membentuk ulang konektivitas pedesaan di Indonesia, asalkan bisa menemukan formula harga yang sesuai dengan daya beli masyarakat.

Read Entire Article
Kepri | Aceh | Nabire | |