Kacamata Pintar Kini Tengah Naik Daun, Mengapa Sang Pionir Google Glass Justru Gagal di Pasar?

2 days ago 8

Selular.ID – Hanya dalam beberapa tahun, kecerdasan buatan (AI) telah berevolusi dari alat yang hanya digunakan di latar belakang menjadi kekuatan transformatif – menjanjikan perubahan cara kita bekerja, berkreasi, dan berinteraksi dengan dunia.

Salah satu bidang AI yang paling menarik adalah kacamata pintar, yang menggabungkan teknologi wearable dengan asisten cerdas.

Seiring kacamata menjadi salah satu titik awal penting bagi kemajuan AI, bidang ini telah menjadi ajang persaingan baru bagi produsen AI dan perusahaan perangkat keras.

Tidak seperti kacamata wearable yang telah kita lihat sebelumnya, kunci kacamata AI adalah teknologi terbaru yang ditanamkan kecerdasan buatan.

Karena kacamata AI memiliki kemampuan interaksi multimoda dan pemrosesan informasi personal secara real-time, banyak aplikasi inovatif telah bermunculan.

Menurut laporan data Wellsenn XR, penjualan global kacamata AI diproyeksi sebanyak 1,52 juta unit pada 2024, kemudian 3,5 juta unit pada 2025, meningkat 130% dibandingkan tahun sebelumnya.

Pada 2029, angkanya diprediksi menlonjak mencapai 60 juta unit, dan pada 2035, penjualan global kacamata AI dapat menembus 1,4 miliar unit.

Singkatnya, kacamata AI sedang menuju jalur cepat. Wajar jika banyak produsen telah meluncurkan kacamata AI.

Dengan potensi pasar yang terus meningkat, sejumlah perusahaan teknologi ternama seperti Meta, Google, dan Samsung tengah berlomba-lomba menghadirkan produk smart glasses AI ke pasaran.

Vendor-vendor raksasa China juga tak mau kalah. Xiaomi, TCL, Baidu, Alibaba, Huawei, hingga Bytedance, induk usaha TikTok, juga telah terjun ke bisnis prospektif ini.

Dari sejumlah pemain itu, Xiaomi dan Meta bisa dibilang berada di barisan terdepan. Ketatnya persaingan antar kedua raksasa itu, tercermin dari inovasi teknologi dan angka penjualan yang terus melonjak.

Xiaomi misalnya, menargetkan dapat mencapai penjualan tahunan lebih dari 5 juta unit dalam tiga tahun ke depan.

Xiaomi rupanya tak ingin membiarkan sang market leader Ray-Ban Meta berlari sendirian.

Dominasi Ray-Ban Meta di segmen kacamata pintar AI memang terbilang signifikan. Pada paruh pertama 2025, perangkat hasil kerjasama Meta dan EssilorLuxottica ini,  meraih pangsa pasar sebesar 73%. Pertumbuhan sebesar 110% dari tahun ke tahun.

Tingginya penjualan Ray-Ban Meta, didukung oleh peningkatan kapasitas produksi dan distribusi melalui jaringan ritel EssilorLuxottica.

Baca Juga: Halo X: Kacamata Pintar yang Rekam Semua Percakapan untuk AI

Google Glass Layu Sebelum Berkembang

Kontras dengan pencapaian Ray-Ban Meta dan Xiaomi, Google Glass justru terpuruk di pasar. Menengok ke belakang, Google Glass pernah menjadi masa depan teknologi wearable. Produk yang menyerupai kacamata ini diperkenalkan pada 2013 dan menuai banyak perhatian.

Dengan kehadiran Google Glass orang-orang membayangkan dunia di mana kita dapat mengakses informasi tanpa perlu menyentuhnya, cukup dengan mengenakan kacamata.

Namun, beberapa tahun kemudian, kehebohan seputar Google Glass telah mereda secara signifikan. Bahkan, produk ini dihentikan produksinya pada 2015, hanya dua tahun setelah peluncuran pertamanya.

Apa yang terjadi dengan Google Glass? Mengapa produk yang terbilang inovatif dan visioner ini justru mengalami kegagalan di pasaran?

Berbeda dengan perangkat lainnya, Google Glass memiliki layar kecil yang dapat menampilkan informasi seperti email, pesan teks, dan petunjuk arah, dan pengguna dapat berinteraksi dengan perangkat tersebut menggunakan perintah suara atau dengan menyentuh sisi bingkai.

Google Glass juga memiliki kamera yang dapat mengambil foto dan merekam video, serta dapat terhubung ke internet melalui Wi-Fi atau koneksi data ponsel.

Pada saat peluncurannya, Google Glass dipandang sebagai teknologi baru yang revolusioner yang berpotensi mengubah cara kita berinteraksi dengan dunia di sekitar kita.

Perangkat ini dipasarkan sebagai cara untuk mempermudah hidup kita dengan memberikan informasi dan hiburan secara hands-free.

Namun, produk ini juga disambut dengan skeptisisme, dengan banyak orang mengungkapkan kekhawatiran tentang privasi dan potensi perangkat tersebut untuk digunakan sebagai alat pengawasan.

Lalu mengapa Google Glass gagal? Ada sejumlah faktor yang menyebabkan kegagalan perangkat tersebut.

Harga yang Mahal

Salah satu alasan utama kegagalan Google Glass adalah harganya yang mahal. Saat pertama kali dirilis, harganya $1.500, yang membuatnya tidak terjangkau bagi sebagian besar konsumen.

Harga yang mahal juga menyulitkan pengembang untuk membuat aplikasi untuk perangkat tersebut, karena pangsa pasarnya terbatas.

Kekhawatiran Privasi

Faktor utama lain dalam kegagalan Google Glass adalah kekhawatiran tentang privasi. Banyak orang khawatir perangkat tersebut dapat digunakan untuk pengawasan, karena kameranya dapat digunakan untuk merekam video dan mengambil foto tanpa sepengetahuan orang di sekitar pengguna.

Ada juga kekhawatiran tentang jumlah data yang dikumpulkan Google dari perangkat tersebut, dan bagaimana data tersebut digunakan.

Kegunaan

Google Glass juga dikritik karena kegunaannya. Perangkat tersebut sulit digunakan, dan seringkali mengharuskan pengguna mengucapkan perintah dengan suara keras agar dapat dipahami. Perangkat ini juga memiliki daya tahan baterai yang terbatas, sehingga sulit digunakan dalam jangka waktu lama.

Kurangnya Aplikasi Unggulan

Terlepas dari gembar-gembor Google Glass, perangkat ini tidak pernah benar-benar menemukan aplikasi unggulan yang menjadikannya produk wajib. Meskipun ada beberapa aplikasi menarik yang dikembangkan untuk perangkat ini, tidak satu pun yang cukup menarik hingga membuat konsumen rela merogoh kocek $1.500 untuk perangkat tersebut.

Pelajaran dari Google Glass

Salah satu pelajaran utama yang dipetik Google dari Google Glass adalah pentingnya menciptakan perangkat yang terjangkau dan dapat diakses oleh sebanyak mungkin orang.

Saat pertama kali dirilis, harganya terlalu mahal bagi sebagian besar konsumen, sehingga membatasi pasar perangkat tersebut. Selain itu, masalah privasi menyebabkan banyak insiden di mana pengguna diminta untuk menjauhkan perangkat mereka dari tempat umum.

Pelajaran lain yang dipetik Google dari Google Glass adalah pentingnya menciptakan perangkat yang memiliki aplikasi unggulan.

Meskipun ada beberapa aplikasi menarik yang dikembangkan untuk perangkat tersebut, tidak satu pun yang cukup menarik hingga membuat konsumen rela mengeluarkan uang $1.500 untuk perangkat tersebut.

Baca Juga: Google Batalkan Pixel Tablet 2, Fokus ke Ponsel Lipat dan Kacamata Pintar

Read Entire Article
Kepri | Aceh | Nabire | |