Kepritoday.com – Proyek pembangunan Pelabuhan Roro Kuala Maras Tahap II senilai Rp31,186 miliar yang didanai APBN kini berada di bawah pengawasan ketat publik. Hanya berselang kurang dari dua bulan setelah diserahkan pada 1 Juli 2025, dermaga pelabuhan sudah mengalami kerusakan parah, menimbulkan dugaan adanya penyimpangan spesifikasi teknis dan praktik korupsi.
Kontrak proyek ditandatangani pada Juni 2024, setelah PT Samudra Anugrah Indah Permai terpilih sebagai kontraktor utama pada Mei 2024. Selama masa konstruksi, beberapa laporan dari masyarakat setempat muncul, menyoroti dugaan pencemaran laut yang mengganggu nelayan dan isu terkait lainnya. Meski demikian, proyek ini terus berjalan hingga dinyatakan selesai dan diserahkan pada 1 Juli 2025.
Kerusakan Terlihat Cepat dan Mencolok
Pada awal Agustus 2025, dua lubang besar ditemukan di lantai dermaga, tepatnya di dekat tanggul penahan ombak. Lubang-lubang ini mengungkap ruang kosong di bawah struktur dermaga. Kondisi ini diduga akibat pemadatan tanah urukan yang tidak sesuai standar, sehingga tanah terkikis oleh air laut. Jika dibiarkan, kerusakan ini berpotensi menyebabkan dermaga ambruk, mengingat proyek ini seharusnya dirancang untuk menahan tekanan air dan beban berat.
Dugaan Kuat Penyimpangan dan Gagal Konstruksi
Analisis visual terhadap area yang rusak menunjukkan beberapa indikasi penyimpangan teknis yang serius:
- Minimnya Besi Tulangan: Video yang beredar menunjukkan bahwa bagian lantai dermaga yang rusak tidak memiliki besi tulangan (reinforcement) yang memadai. Padahal, penggunaan besi tulangan adalah syarat wajib dalam konstruksi beton di area maritim untuk mencegah keretakan dini.
- Perbaikan Tidak Sesuai Standar: Metode perbaikan sementara yang dilakukan, seperti mengisi rongga di bawah dermaga dengan pasir, jauh dari standar struktural. Seharusnya, perbaikan untuk proyek berskala besar dilakukan dengan teknik yang lebih kuat, seperti grouting atau injeksi beton berkualitas tinggi.
Lemahnya Pengawasan Menjadi Faktor Utama
Proyek yang dikelola oleh Balai Pengelola Transportasi Darat (BPTD) Kelas II Kepri ini diketahui berjalan tanpa pengawasan langsung di lapangan. Kontrak konsultan pengawas telah berakhir pada Desember 2024, membuat proyek ini tanpa pengawasan fisik sejak Januari 2025. Pengawasan hanya dilakukan melalui panggilan video, sebuah metode yang jelas tidak efektif untuk memastikan kualitas pengerjaan.
Seorang warga mengungkapkan kekecewaannya, “Seharusnya ada monitoring yang ketat dan berkala untuk memastikan proyek ini berjalan sesuai rencana agar tidak ada penyimpangan.” kesalnya.
Desakan untuk Investigasi Menyeluruh
Kerusakan yang cepat ini memicu kecurigaan publik tentang potensi “permainan” antara kontraktor dan pejabat yang terlibat. Ketua LSM ICTI Kepri, Kuncus, menegaskan bahwa kerusakan ini adalah indikasi penyimpangan, termasuk penggunaan material berkualitas rendah dan hilangnya timbunan tanah.
“Diduga banyak kejanggalan dalam proses pembangunan, termasuk dari pembuatan batu miring yang tidak memiliki pondasi kuat, serta pembesian juga diduga lari dari spek,” ujarnya.
Merespons hal ini, LSM ICTI Kepri mendesak Aparat Penegak Hukum (APH), khususnya Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau, untuk segera melakukan investigasi menyeluruh. Mereka meminta dilakukannya audit teknis dan keuangan guna mengungkap potensi kerugian negara dan memeriksa semua pihak yang terlibat, termasuk kontraktor, konsultan pengawas dan pejabat BPTD Kepri.
Kerusakan ini tidak hanya menghambat konektivitas maritim yang vital bagi Anambas, tetapi juga berpotensi merugikan negara. Proyek yang seharusnya menjadi simbol kemajuan kini menghadapi ancaman menjadi monumen ketidakbertanggungjawaban jika tidak ada langkah tegas dari pihak berwenang.
Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Kementerian Perhubungan Darat dari BPTD) Kelas II Kepri, Abraham Lucky Geraldo, selaku penanggungjawab proyek ini bungkam, konfirmasi media tidak pernah direspon.(wae)
Berita sebelumnya:
Pembangunan Pelabuhan Roro Kuala Maras Tahap II: Dari Aspirasi Hingga Kontroversi