Kepritoday.com – Ironi terjadi di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Raja Ahmad Tabib (RAT) Tanjungpinang. Di tengah alokasi anggaran yang tak sedikit, fasilitas dasar seperti pendingin udara (AC) sentral justru mati total, membuat pasien dan keluarga mengeluhkan suhu panas yang sangat mengganggu.
“Rasanya kayak di dalam oven, panas sekali di ruangan. Sampai kami terpaksa bawa kipas angin sendiri dari rumah,” keluh seorang pasien yang enggan disebutkan namanya.
Situasi ini memicu pertanyaan publik tentang efektivitas pengelolaan anggaran rumah sakit. Padahal, setiap tahun RSUD RAT mendapatkan dana perawatan rutin. “Anggaran perawatan setiap tahun kan ada, masa iya sampai AC juga tidak beroperasi? Kemana dana perawatannya?” tanya seorang keluarga pasien.
Menanggapi hal tersebut, Direktur RSUD RAT, dr. Bambang Utoyo, membenarkan bahwa sistem AC sentral memang rusak karena pipa-pipa yang berkarat dan bocor, sebuah masalah yang diklaim telah berlangsung selama bertahun-tahun.
“Pipa-pipanya banyak yang bocor dan berkarat. Saat ini sedang dalam proses perbaikan, jadi mesinnya sementara kami matikan,” jelas dr. Bambang.
Sebagai solusi sementara, ia menyampaikan bahwa pihak rumah sakit akan memasang unit AC split sebagai cadangan. Menurut Bambang, AC split ini akan dipasang di setiap ruangan sebagai cadangan jika AC sentralnya rusak. Pemasangan ini masih menunggu pengesahan APBD-P (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan) tahun ini, sehingga ada back up ketika AC sentral diperbaiki. Untuk solusi permanen, pihaknya akan melakukan penggantian jaringan pipa pada tahun depan.

Rencana Pinjam Ratusan Miliar, Fasilitas Dasar Justru Terbengkalai
Merujuk pada rencana Pemprov Kepri yang akan mengajukan pinjaman sebesar Rp110 miliar ke Bank Riau Kepri (BRK) pada tahun 2026. Dana ini dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur pelayanan publik, termasuk pembangunan gedung poli baru di RSUD Raja Ahmad Tabib.
Kondisi AC yang mati di RSUD RAT ini menjadi sorotan tajam karena bertepatan dengan rencana pemerintah untuk mengajukan utang besar demi membangun fasilitas baru. Hal ini memicu pertanyaan masyarakat: mengapa fasilitas dasar yang sudah ada dibiarkan terbengkalai, sementara pemerintah berencana mengeluarkan uang besar untuk pembangunan baru?
Ketika ditanya apakah anggaran perbaikan AC ini terkait dengan pinjaman tersebut, dr. Bambang Utoyo, mengaku tidak tahu menahu. “Kegiatannya di Dinas Pekerjaan Umum (PU), anggarannya kami kurang paham juga,” jawabnya. Ia hanya menegaskan bahwa pihaknya telah mengusulkan perbaikan total untuk kepentingan masyarakat.
Situasi ini menjadi bukti nyata bahwa anggaran kesehatan yang besar tidak selalu menjamin fasilitas yang memadai. Fokus pemerintah yang beralih pada proyek-proyek besar, sementara kebutuhan dasar pasien seperti kenyamanan di ruang perawatan justru terabaikan, jelas menunjukkan perlunya pengawasan yang lebih ketat. Keluhan pasien dan keluarga menjadi pengingat bahwa peningkatan kualitas pelayanan harus dimulai dari hal-hal fundamental, bukan hanya pembangunan fisik yang ambisius.