Kepritoday.com – Di balik gemerlap label “beras premium”, Satgas Pangan Polri menemukan realitas yang perlu segera diperbaiki. Sebuah rekonstruksi lapangan digelar di pabrik milik PT Padi Indonesia Maju, yang berlokasi di Kawasan Industri Terpadu Wilmar, Serang, Banten, demi memastikan kualitas produksi pangan benar-benar sesuai dengan standar nasional.
Rekonstruksi ini dipimpin langsung oleh Brigjen Pol Helfi Assegaf, Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dirtipideksus) Bareskrim Polri yang juga menjabat Kepala Satgas Pangan Polri.
Dalam pemaparan di lapangan, Helfi menyebut proses produksi beras di PT Padi Indonesia Maju sudah mengadopsi sistem otomatisasi penuh, dengan kapasitas luar biasa: 300 ton beras per hari. Rangkaian mesinnya cukup kompleks, dari pengering gabah, pemecah kulit, pemoles, pemisah warna, pemilah butir utuh dan pecah, hingga pengemasan dengan timbangan otomatis.
“Proses ini memakan waktu sekitar 20 jam dari bahan baku hingga pengemasan. Semua diawasi dari ruang kendali dan laboratorium terintegrasi,” terang Helfi saat memandu rekonstruksi, Selasa (6/8/2025).
Namun di balik kemajuan itu, tim Satgas menemukan kesenjangan serius dalam pengawasan mutu. Uji sampling Quality Control (QC) yang seharusnya dilakukan setiap dua jam, dalam praktiknya hanya dilakukan satu hingga dua kali.
Minimnya pengujian QC membuat produk akhir masih mengandung sisa menir, yakni pecahan kecil beras yang seharusnya sudah tersaring habis pada produk berlabel “premium”. Walaupun jumlahnya kecil, ini bisa menurunkan standar mutu dan menyesatkan konsumen.
“Meskipun pakai mesin otomatis, hasil 100 persen sempurna tetap butuh pengawasan manusia. Temuan menir ini jadi PR bagi manajemen,” tegas Helfi.
Tak hanya itu, Satgas juga menyoroti adanya praktik menambah berat 200 gram per karung 25 kilogram. Tujuannya untuk menghindari penolakan oleh sistem timbangan otomatis saat pengepakan.
Tindakan ini menandakan masih adanya penyesuaian manual yang berisiko pada konsistensi bobot dan bisa berdampak pada distribusi serta kepuasan konsumen.
Dalam pemeriksaan lapangan, satu hal yang paling disoroti adalah kompetensi tim QC. Dari 22 petugas Quality Control, hanya satu orang yang memiliki sertifikasi resmi. Artinya, manajemen perusahaan belum memenuhi standar kompetensi personel, yang seharusnya menjadi syarat dasar industri pangan.
“Perlu pelatihan dan sertifikasi segera. Ini bukan hanya soal teknis, tapi soal kepercayaan publik terhadap produk pangan,” ujar Helfi.
Terkait kasus ini, tiga orang dari perusahaan tengah diproses secara hukum dan tidak berada di lokasi. Namun, pihak Satgas menegaskan bahwa operasional dan distribusi perusahaan tetap berjalan normal.
Rekonstruksi ini bukan hanya bagian dari penegakan hukum, tapi juga bentuk pengawasan jangka panjang terhadap produsen beras nasional. Tujuannya sederhana namun krusial: menjaga kualitas pangan di Indonesia, agar masyarakat mendapatkan haknya atas makanan yang layak dan sesuai label.
“Kami ingin semua pelaku usaha pangan konsisten dengan standar yang telah ditetapkan. Label premium harus sejalan dengan isinya,” tutup Helfi.
Langkah Satgas ini menjadi pengingat bahwa pengawasan terhadap produsen pangan bukan hanya soal pelanggaran, tapi tentang komitmen jangka panjang untuk menjaga kepercayaan publik. Di tengah gempuran harga dan pasokan pangan yang fluktuatif, kualitas tetap jadi hal utama.