Wamenkomdigi Pastikan UU PDP Jadi Pedoman Atasi Risiko Bocor Data SIM Biometrik

3 hours ago 4

Selular.id – Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika (Wamenkomdigi) Nezar Patria menegaskan komitmen pemerintah untuk mematuhi Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) dalam mengantisipasi risiko kebocoran data dari penerapan registrasi kartu SIM berbasis biometrik wajah.

Pernyataan ini disampaikan sebagai respons atas kekhawatiran publik dan peringatan dari mantan Komisioner Ombudsman RI mengenai potensi pelanggaran privasi.

Nezar menyatakan bahwa proses registrasi SIM biometrik yang akan dimulai pada 1 Januari 2026 akan mengikuti ketentuan UU PDP.

“Jadi kita dalam proses ini, kita akan mengikuti undang-undang. Dan kita coba comply (mematuhi) dengan Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi,” ujar Nezar, Kamis (18/12/2025).

Penegasan ini penting mengingat data biometrik wajah merupakan data pribadi yang sangat sensitif dan permanen.

Kekhawatiran tersebut sebelumnya diungkapkan oleh Alamsyah Saragih, Komisioner Ombudsman RI periode 2016-2021.

Ia menyoroti setidaknya tiga risiko utama jika penerapan teknologi pengenalan wajah (face recognition) untuk registrasi SIM tidak dimitigasi dengan baik.

Risiko pertama adalah pelanggaran privasi, di mana data wajah warga bisa disalahgunakan.

Risiko kedua adalah penyimpangan misi (mission creep), yaitu penggunaan data untuk tujuan lain di luar registrasi SIM.

Selain itu, ada pula risiko teknis dan keamanan siber yang mengancam integritas penyimpanan data.

Kebijakan registrasi SIM biometrik sendiri merupakan hasil koordinasi antara Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) dengan Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI).

Kebijakan ini dirancang untuk meningkatkan akurasi dan keamanan data pelanggan telekomunikasi, sekaligus meminimalisir praktik peredaran kartu SIM ilegal atau yang didaftarkan dengan identitas palsu.

Penerapan teknologi biometrik dianggap sebagai langkah modernisasi dalam sistem registrasi yang selama ini mengandalkan data kependudukan secara manual.

Namun, di balik tujuan positif tersebut, tantangan utamanya terletak pada bagaimana menjamin keamanan data biometrik yang dikumpulkan.

Data wajah, berbeda dengan kata sandi atau PIN, tidak dapat diubah jika terjadi kebocoran.

Oleh karena itu, kerangka hukum UU PDP diharapkan dapat menjadi payung yang kuat.

UU ini mengatur secara spesifik mengenai kewajiban pengendali data pribadi untuk melindungi data, memperoleh persetujuan dari pemilik data, serta menerapkan langkah-langkah keamanan teknis dan organisasi yang memadai.

Implementasi UU PDP dalam konteks ini mensyaratkan operator seluler sebagai pengendali data untuk memiliki sistem keamanan berlapis.

Mulai dari enkripsi data saat pengambilan dan penyimpanan, pembatasan akses, hingga mekanisme audit yang rutin.

Masyarakat juga berhak mengetahui untuk apa data mereka digunakan, disimpan di mana, dan berapa lama masa retensinya.

Transparansi ini menjadi kunci membangun kepercayaan publik terhadap kebijakan baru yang bersinggungan langsung dengan privasi ini.

Langkah pemerintah ini juga tidak terlepas dari dukungan lintas kementerian.

Sebelumnya, Direktorat Jenderal Dukcapil Kementerian Dalam Negeri juga telah menyatakan dukungannya terhadap registrasi kartu SIM seluler berbasis biometrik.

Kolaborasi dengan database kependudukan yang dimiliki Dukcapil diharapkan dapat memverifikasi keaslian identitas dengan lebih akurat, menciptakan satu data yang konsisten antara identitas kependudukan dan registrasi telekomunikasi.

Jalur Panjang Menuju Regulasi yang Matang

Wacana penggunaan biometrik untuk registrasi SIM sebenarnya telah bergulir cukup lama.

Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) pernah menyatakan rencana untuk menerapkan otentikasi biometrik dalam registrasi kartu SIM.

Namun, penerapannya membutuhkan waktu karena harus menunggu kesiapan regulasi, infrastruktur teknologi, dan tentu saja, payung hukum pelindungan data pribadi yang kini telah diwujudkan dalam UU PDP.

Dengan jadwal penerapan yang tinggal menghitung bulan, sosialisasi kepada masyarakat menjadi hal krusial berikutnya.

Masyarakat perlu dipahamkan tentang prosedur baru, hak-hak mereka atas data pribadi, serta langkah-langkah yang diambil pemerintah dan operator untuk menjamin keamanannya.

Tanpa pemahaman yang baik, kebijakan progresif ini justru berpotensi menimbulkan resistensi dan kekhawatiran yang tidak perlu di tengah masyarakat.

Pakar teknologi dan masyarakat sipil terus mengawasi proses ini.

Mereka menekankan bahwa komitmen mematuhi UU PDP harus diikuti dengan implementasi teknis yang konkret dan pengawasan yang independen.

Risiko dan tantangan sosial dari registrasi SIM card biometrik 2026 perlu diantisipasi secara serius, tidak hanya dari aspek keamanan siber, tetapi juga dari dampaknya terhadap kelompok rentan dan aksesibilitas layanan.

Kedepannya, perkembangan kebijakan ini akan menjadi ujian nyata bagi efektivitas UU PDP dalam melindungi data warga di era digital.

Kesuksesannya tidak hanya diukur dari teknis implementasi, tetapi juga dari kemampuan membangun ekosistem kepercayaan antara pemerintah, regulator, penyelenggara telekomunikasi, dan masyarakat sebagai pemilik data pribadi.

Read Entire Article
Kepri | Aceh | Nabire | |