Konflik Tanah Adat Disuarakan ke DPR Papua Tengah, LMA-O Desak Solusi Bersama

20 hours ago 8

Nabire, 15 Desember 2025 – Lembaga Masyarakat Adat Suku Mee Ogeiya (LMA-O) Diyoweitopoke wilayah selatan Kabupaten Dogiyai dan Deiyai menggelar aksi penyampaian aspirasi ke Kantor DPR Provinsi Papua Tengah, Jumat (12/12/2025). Aksi yang diikuti lebih dari seratus massa tersebut dimulai dari Pasar Karang Nabire menuju kantor DPR Papua Tengah.

Massa aksi diterima langsung oleh Anggota DPR Provinsi Papua Tengah Dapil Kabupaten Deiyai, Donatus Mote, dan Anggota DPR Provinsi Papua Tengah Dapil Kabupaten Dogiyai, Yohanes Waine. Penyampaian aspirasi berlangsung tertib dan damai dengan pengawalan aparat keamanan.

Anggota DPR Papua Tengah, Yohanes Waine, menegaskan bahwa DPR Provinsi Papua Tengah merupakan rumah bersama bagi seluruh masyarakat dalam menyampaikan aspirasi dan memiliki kewajiban hukum untuk menindaklanjutinya.

“Di tempat inilah rumah kita bersama untuk menyampaikan aspirasi. Sudah menjadi kewajiban kami untuk menindaklanjuti apa yang disampaikan Bapak-Ibu sekalian,” ujar Yohanes Waine.

Ia mengapresiasi massa aksi yang menyampaikan aspirasi secara damai dan memastikan aspirasi tersebut akan disampaikan kepada pimpinan DPR Papua Tengah untuk dibahas lebih lanjut.

Yohanes Waine juga menekankan pentingnya peran pemerintah dalam memfasilitasi pertemuan bersama antara Kabupaten Deiyai, Dogiyai, dan Mimika guna menyelesaikan persoalan tapal batas tanah adat antara Suku Mee dan Suku Kamoro.

“Aspirasi ini akan kami tindak lanjuti dan kami sampaikan kepada pimpinan DPR agar difasilitasi penyelesaian secara bersama,” tegasnya.

Sementara itu, Sekretaris LMA-O sekaligus Koordinator Lapangan, Andreas Pakage, menyampaikan sejumlah tuntutan utama masyarakat adat. Ia menegaskan bahwa kejelasan tapal batas tanah adat sangat dibutuhkan untuk mencegah konflik berkepanjangan di wilayah selatan Papua Tengah.

“Harapan kami, pemerintah provinsi bersama pemerintah kabupaten memfasilitasi kejelasan tapal batas tanah adat antara Suku Mee dan Suku Kamoro agar tidak terjadi konflik ke depan,” kata Andreas Pakage.

Selain persoalan tapal batas, LMA-O juga menuntut agar pelaku pembunuhan Pendeta Ev. Neles Peuki, serta pelaku pembakaran rumah warga, gereja, sekolah, dan fasilitas kesehatan dapat diusut tuntas dan diproses sesuai hukum yang berlaku.

Menurut Andreas, hingga kini masih banyak masyarakat adat Suku Mee yang mengungsi ke hutan akibat rumah mereka dibakar. Kondisi tersebut berdampak serius terhadap kehidupan sosial, pendidikan anak-anak, serta aktivitas ibadah masyarakat.

“Kami meminta pemerintah provinsi dan Kabupaten Mimika membangun kembali rumah-rumah warga yang dibakar agar masyarakat bisa kembali ke kampung halaman mereka,” jelasnya.

Dalam tuntutannya, LMA-O juga meminta pemerintah segera mencabut izin perusahaan-perusahaan ilegal yang beroperasi di wilayah selatan, khususnya di Kampung Mogodagi, Kabupaten Deiyai, Dogiyai, dan Mimika.

Massa aksi menegaskan bahwa penyelesaian konflik tapal batas tanah adat harus dilakukan melalui pendekatan adat dan sosial, dengan dukungan penuh pemerintah provinsi serta tiga kabupaten terkait, tanpa mengesampingkan ketentuan hukum dan administrasi pemerintahan.

Aksi penyampaian aspirasi tersebut ditutup dengan harapan agar DPR Provinsi Papua Tengah dan pemerintah daerah segera mengambil langkah konkret demi terciptanya keadilan, perdamaian, serta perlindungan hak-hak masyarakat adat di wilayah selatan Papua Tengah.

[Nabire.Net/Musa Boma]

Read Entire Article
Kepri | Aceh | Nabire | |