Selular.id – Dictionary.com secara resmi menetapkan “67” sebagai Word of the Year 2025, sebuah keputusan yang mengejutkan karena pilihan ini bukan kata melainkan angka.
Penetapan ini menjadi kapsul waktu linguistik yang merefleksikan tren sosial dan budaya global sepanjang tahun.
Istilah “67” yang populer di kalangan remaja dan pelajar ini digunakan untuk mengekspresikan makna samar antara “biasa saja”, “mungkin ya, mungkin tidak”, atau sekadar candaan tanpa arti jelas.
Fenomena “67” atau yang diucapkan “six seven” kini menjadi sorotan setelah resmi dinobatkan sebagai Word of the Year 2025 oleh Dictionary.com.
Meski sekilas tampak seperti angka biasa, dalam konteks budaya digital, “67” telah berkembang menjadi ekspresi khas generasi muda untuk menyampaikan kebingungan, keraguan, atau tanggapan netral terhadap sesuatu.
Steve Johnson, Ph.D., pakar leksikografi dari Dictionary Media Group menjelaskan bahwa “67” berfungsi seperti seruan spontan yang lebih mengekspresikan perasaan daripada menyampaikan arti konkret.
“Istilah ini mencerminkan cara generasi muda memanfaatkan bahasa digital yang absurd namun penuh makna sosial, di mana menjadi bagian dari lelucon itu sendiri lebih penting daripada arti literal,” jelas Johnson.
Asal Usul dan Perkembangan “67”
Istilah “67” pertama kali muncul dari lagu berjudul “Doot Doot (6 7)” yang dinyanyikan oleh rapper Skrilla dan dirilis pada Desember 2024.
Potongan lagu tersebut kemudian viral di TikTok dan digunakan dalam berbagai video yang menampilkan gerakan tangan seperti sedang menimbang dua pilihan.
Dari tren tersebut, “six seven” berubah menjadi simbol kebingungan atau respons spontan yang tidak memiliki makna pasti.
Popularitas istilah ini semakin meningkat setelah dikaitkan dengan pemain NBA LaMelo Ball yang memiliki tinggi 6 kaki 7 inci.
Sosok lain yang turut memopulerkannya adalah seorang anak yang dijuluki “The 67 Kid” setelah videonya viral di pertandingan basket.
Seiring waktu, frasa ini keluar dari ranah olahraga dan menyebar luas di kalangan siswa, kreator konten, dan pengguna media sosial di berbagai platform.
Makna dan Penggunaan dalam Budaya Digital
Menurut Dictionary.com, “67” tidak memiliki arti tunggal.
Istilah ini termasuk dalam kategori brainrot slang, yaitu bentuk bahasa yang sengaja dibuat tanpa makna jelas dan hanya dapat dipahami oleh mereka yang mengikuti tren tersebut.
Dalam percakapan sehari-hari, “67” sering dipakai sebagai padanan dari ungkapan seperti “ya, mungkin saja” atau “biasa saja”.
Dictionary.com mencatat bahwa penggunaan “67” meningkat enam kali lipat pada Oktober 2025 dibandingkan dengan sepanjang tahun sebelumnya.
Peningkatan ini menunjukkan betapa cepatnya bahasa baru menyebar di era digital, terutama ketika generasi muda menjadi pusat percakapan global.
Fenomena ini serupa dengan bagaimana teknologi baru dengan cepat diadopsi, seperti yang terjadi pada perangkat PC dan laptop terbaru yang langsung menarik perhatian pengguna.
Penggunaan “67” memiliki beberapa pola umum dalam komunikasi digital.
Istilah ini sering muncul dalam percakapan santai, komentar media sosial, dan konten kreatif yang menekankan unsur humor dan spontanitas.
Seperti halnya dalam memahami rating IP pada ponsel, konteks menjadi kunci penting dalam menafsirkan makna sebenarnya dari penggunaan “67”.
Fenomena bahasa ini mencerminkan evolusi komunikasi di dunia digital yang semakin dinamis.
Generasi muda mengembangkan kode-kode bahasa mereka sendiri yang mampu menciptakan ikatan sosial dan identitas kelompok.
Tren semacam ini juga terlihat dalam berbagai inisiatif digital lainnya, termasuk program Telkomsel Siaga RAFI yang memanfaatkan teknologi untuk menghubungkan masyarakat.
Dengan demikian, “67” bukan sekadar angka. Istilah ini merepresentasikan cara baru berkomunikasi di dunia maya yang menekankan spontanitas, kebersamaan, dan humor.
Maknanya dapat berubah tergantung pada konteks, tetapi esensinya tetap sama, yaitu menjadi bagian dari percakapan modern di mana tidak semua hal perlu dimaknai secara serius untuk bisa dipahami bersama.
Perkembangan bahasa digital seperti “67” menunjukkan bagaimana media sosial dan platform digital menjadi laboratorium bahasa yang hidup.
Bahasa terus berevolusi mengikuti perubahan sosial dan teknologi, menciptakan bentuk-bentuk ekspresi baru yang mencerminkan zeitgeist zaman ini.



































