Tenaga Kerja Minim di Pabrik Rokok Batam: Produksi Nyata atau Kamuflase?

1 day ago 8

Kepritoday.com — Dugaan praktik tidak transparan di industri tembakau Kota Batam. Sejumlah pabrik rokok yang terdaftar resmi di kawasan bebas pajak ini kerap mengklaim bahwa minimnya jumlah tenaga kerja disebabkan penggunaan teknologi otomatisasi tinggi. Namun, benarkah demikian?

Pabrik-pabrik tersebut berdalih bahwa lini produksinya sudah menggunakan mesin otomatis untuk menekan biaya operasional, khususnya tenaga kerja. Akan tetapi, pengamatan di lapangan dan analisis industri menunjukkan bahwa bahkan dengan otomatisasi tinggi, sektor ini tetap membutuhkan sumber daya manusia (SDM) dalam jumlah signifikan. Khususnya untuk:

  • Pengemasan manual: Tidak semua proses dapat dilakukan mesin, terutama pengepakan akhir dan pengawasan mutu.
  • Logistik dan distribusi: Perlu tenaga manusia untuk mengatur pengiriman dan keluar masuk barang.
  • Quality Control (QC): Peninjauan mutu produksi hampir selalu melibatkan supervisi manusia.

Sehingga, argumen “sepenuhnya otomatis” menjadi tidak sepenuhnya valid ketika jumlah pekerja hanya berkisar 10–20 orang, padahal kapasitas produksi diklaim mencapai jutaan batang rokok per hari.

Beberapa laporan menyebut, perusahaan rokok di Batam bahkan hanya mempekerjakan belasan orang. Jika benar, maka efisiensi yang diklaim tampak tidak masuk akal secara teknis. Untuk membungkus, menyegel, hingga mengangkut jutaan batang rokok per hari jelas memerlukan sistem kerja terpadu dengan ratusan pekerja — kecuali memang volume produksinya tidak seperti yang diklaim, atau justru terjadi di tempat lain.

“Mesin otomatis tetap butuh manusia untuk mengoperasikannya. Apalagi di industri rokok yang penuh regulasi dan kontrol mutu,” ujar seorang Ketua LSM di Kepri.

Minimnya tenaga kerja ini menimbulkan spekulasi bahwa beberapa pabrik hanya berfungsi sebagai “legal front” — perusahaan formal yang digunakan untuk mengajukan kuota bahan baku legal seperti tembakau dan cengkeh, namun sebenarnya tidak memproduksi dalam skala besar. Kemungkinan lainnya, produksi besar dilakukan di luar lokasi resmi — suatu pola yang dapat mengaburkan jejak distribusi.

Jika benar, skema ini berisiko mencederai sistem perpajakan dan pengawasan negara. Rokok bisa beredar tanpa pita cukai resmi, dan negara pun kehilangan potensi pemasukan dari pajak dan bea masuk.

Fenomena ini seharusnya mendorong Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) dan Kementerian Perindustrian untuk melakukan audit menyeluruh, tidak hanya pada dokumen administrasi, tetapi juga inspeksi fisik di lapangan:

  • Apakah volume bahan baku sejalan dengan output produk?
  • Apakah jumlah tenaga kerja memadai untuk volume produksi?
  • Apakah distribusi sesuai jalur resmi dan berpita cukai?

Industri rokok di Batam memang berada dalam kawasan bebas, namun bukan berarti bebas dari pengawasan. Rendahnya jumlah tenaga kerja di pabrik-pabrik tersebut memunculkan pertanyaan mendasar: apakah mereka benar-benar memproduksi rokok dalam skala besar, atau sekadar mengaburkan alur distribusi rokok ilegal?

Jika tidak ada transparansi dan penegakan hukum yang serius, maka dalih otomatisasi hanyalah tabir untuk praktik yang merugikan negara.(Wae)

Read Entire Article
Kepri | Aceh | Nabire | |