Tak Ingin Ketinggalan “Kereta”, Petinggi Ericsson Juga Siap Kerjasama dengan Donald Trump

6 days ago 7

Selular.ID – Naiknya Donald Trump ke tampuk kekuasaan, membuat banyak perusahaan-perusahaan teknologi berancang-ancang untuk membangun kerjasama dengan AS, termasuk Ericsson.

Pembuat peralatan telekomunikasi asal Swedia itu, berharap Amerika Serikat akan terus menjadi yang terdepan dalam pengembangan teknologi di bawah Presiden Donald Trump, yang siap dimanfaatkan oleh perusahaan, kata kepala bagian teknologinya.

Industri ini sekarang berada dalam fase pelaksanaan penuh OpenRAN, kata CTO Erik Ekudden kepada Reuters Global Markets Forum.

“Tentu saja kami bermaksud untuk terus memimpin dan mendorong pengembangan industri tersebut”, kata Ekudden.

OpenRAN memungkinkan operator untuk mencampur dan mencocokkan pemasok dalam jaringan radio. Ericsson, Huawei, dan Nokia, mendominasi pasar peralatan telekomunikasi global dengan teknologi milik mereka.

Fokusnya sekarang adalah membangun pusat data kecerdasan buatan (AI) dan juga memanfaatkan AI tersebut untuk mengoptimalkan kinerja jaringan 5G, kata Ekudden.

Itulah sebabnya setiap negara perlu memiliki strategi inovasi untuk membangun 5G dan AI, tambahnya.

“Saya berharap AS akan terus maju dalam hal itu, dan jika ada, peluangnya tampak fantastis saat ini untuk bekerja lebih keras dan kemudian memastikan bahwa kami menjadi bagian dari itu,” kata Ekudden.

Ia juga mengatakan model manufaktur lokal-untuk-lokal Ericsson memberinya keuntungan, membantunya mengurangi ketergantungan pada perdagangan global dan rantai pasokan, karena ancaman perang dagang membayangi di bawah pemerintahan AS yang baru.

Meski siap menjalin kerjasama dengan AS, Ekudden mengatakan masih terlalu dini untuk berspekulasi tentang tarif.

Pernyataan Ekuden yang bersifat normatif, tak bisa dilepaskan dari kasus yang pernah membelit mereka dengan pemerintah AS.

Baca Juga: Gerak Cepat Donald Trump, Bentuk Stargate Langsung Dulang Pendanaan $100 Miliar Buat Lawan AI China

Raksasa telekomunikasi yang berbasis di Oslo itu, setuju untuk membayar denda sebesar US$ 206 juta dan mengaku bersalah melanggar ketentuan antisuap Undang-Undang Praktik Korupsi Asing (Foreign Corrupt Practices Act/ FCPA), kata jaksa Amerika Serikat (AS).

Ericsson telah membayar denda US$ 520,6 juta pada 2019 atas apa yang dikatakan jaksa federal New York sebagai “kampanye korupsi selama bertahun-tahun”.

Skandal itu melibatkan penyuapan pejabat pemerintah dan pemalsuan pembukuan dan catatan di Djibouti, Tiongkok, Vietnam, Indonesia, dan Kuwait.

Selain itu, perusahaan membayar sekitar US$ 540 juta kepada Komisi Sekuritas dan Bursa (Securities and Exchange Commission/ SEC).

Sebagai hasil dari penyelesaian sengketa 2019, perusahaan menandatangani perjanjian penuntutan yang ditangguhkan (DPA) dengan Kantor Kejaksaan AS untuk Distrik Selatan New York.

Namun, Departemen Kehakiman AS (DOJ) mengatakan Ericsson melanggar perjanjian tersebut dengan tidak mengungkapkan secara jujur semua informasi dan bukti faktual yang melibatkan skema perusahaan di Djibouti dan China. Perusahaan juga diduga gagal mengungkapkan kemungkinan bukti skema serupa di Irak.

Ericsson menggunakan konsultan luar untuk membayar suap kepada pejabat pemerintah dan mengelola “dana gelap” di luar buku di kelima negara, kata jaksa penuntut.

Perusahaan itu, menurut laporan CNBC, menggunakan kontrak palsu dan faktur palsu untuk mengaburkan sifat dana tersebut yang dilihat dari perjanjian penangguhan penuntutan.

Baca Juga: Dinamika Pergerakan Bitcoin Pasca Pelantikan Trump

Read Entire Article
Kepri | Aceh | Nabire | |