Kepritoday.com — Proyek pembangunan Gedung Balai Pengelola Transportasi Darat (BPTD) Kelas II Kepulauan Riau kembali menjadi sorotan publik. Meski telah diresmikan secara simbolis, fisik bangunan belum rampung sepenuhnya. Lebih parah lagi, muncul persoalan serius berupa tunggakan pembayaran kepada subkontraktor oleh pihak kontraktor pelaksana, PT Triderrick Sumber Makmur (PT BSM), yang nilainya mencapai Rp1,9 miliar.
Pertemuan antara pihak BPTD Kepri dan para subkontraktor pada Kamis (12/6) di Gedung BPTD Kepri, Batam. Hadir dalam pertemuan tersebut Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dari Kementerian Perhubungan Darat, Abraham Lucky Geraldo, Kasi Lalu Lintas Jalan, Pengawasan dan Penyeberangan Fauzan, Kasi Prasarana Wisnu, serta sejumlah subkontraktor seperti Jernita, Hasan dan Rizaldi.
Pertemuan yang berlangsung selama hampir dua jam itu menjadi ruang bagi para subkontraktor menyampaikan keresahan dan kekecewaan mereka. Tidak hanya soal keterlambatan, tetapi juga ketidakjelasan pembayaran yang sudah ditagih berulang kali namun tidak kunjung direalisasikan.
“Kami bukan cuma bicara satu atau dua orang. Kami bicara puluhan pekerja yang belum menerima haknya,” ungkap salah satu subkontraktor dengan nada tegas.
Tagihan yang belum dilunasi sebesar Rp1,9 miliar itu mencakup berbagai pekerjaan, mulai dari pemasangan struktur bangunan, pengadaan material, jasa logistik, hingga dukungan teknis.
Dalam forum tersebut, para subkontraktor dengan tegas menyatakan tidak bersedia melanjutkan pekerjaan yang tersisa, seperti pemasangan pintu, kusen, ACP dan bagian lainnya. Bahkan, mereka juga melarang keras penggunaan peralatan dan bahan milik mereka oleh pihak manapun jika proyek dilanjutkan.
Langkah ini diambil sebagai bentuk perlindungan terhadap hak-hak mereka yang belum terpenuhi.
Sebagai tindak lanjut, para subkontraktor bersama perwakilan dari BPTD Kepri dijadwalkan bertolak ke Jakarta pada pekan depan. Mereka akan menemui langsung manajemen PT Triderrick Sumber Makmur (BSM) guna menuntut penyelesaian tunggakan yang telah berlarut-larut.
Pertemuan tersebut diharapkan dapat menjadi titik terang atas polemik yang selama ini belum kunjung diselesaikan.
Kondisi ini menuai kritik dari Indonesia Corruption Transparency Initiative (ICTI) Kepri. Ketua ICTI Kepri, Kuncus, menilai kasus ini sebagai bentuk maladministrasi yang mencolok dalam pengelolaan proyek publik. Ia menegaskan bahwa dana proyek, khususnya untuk termin akhir (60–100%), seharusnya sudah cair sejak akhir tahun 2024.
“Dari termin 60 persen sampai 100 persen, uang sudah diambil oleh kontraktor. Tapi ternyata uangnya habis tanpa dibayarkan ke subkontraktor,” ungkap Kuncus.
Ia juga mempertanyakan siapa yang sebenarnya harus bertanggung jawab atas utang yang belum dilunasi tersebut.
“Kalau uangnya sudah habis dan subkontraktor belum dibayar, lalu siapa yang bertanggung jawab? Apakah kontraktor, PPK, atau pejabat lain di proyek? Ini harus dijelaskan ke publik,” tambahnya.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak-pihak terkait belum memberikan tanggapan terkait usaha klarifikasi media ini. (wae)