Oleh: Nazwar, S. Fil. I., M. Phil. (Penulis Lepas Lintas Jogja Sumatera)
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan toleransi atau kompromi tumbuh dalam kesatuan yang utuh dalam arti sesungguhnya. Konsep kesatuan berupa Indonesia sebagai suatu hasil dari proses toleran dan kemampuan bersama dalam tumbuh kembang. Konsekuensinya, sisi lain berupa kesiapan untuk terceraikan.
Kebaikan maupun sekaligus keuntungan dalam bernegara di bawah payung Republik Indonesia adalah fasilitas yang disediakan berupa kemajuan sebagaimana yang diidamkan banyak orang seperti pesatnya pembangunan dan kemerataannya.
Di daerah-daerah dapat disaksikan pembangunan berbagai infrastruktur, kemerataan kesejahteraan dan lain-lain. Pada saat yang sama, sandaran (“platform”) bersama bernama Indonesia mensyaratkan pengorbanan.
Apa saja keterceraian yang merupakan bentuk pengorbanan tersebut? Berikut rinciannya.
Pertama, tunduk pada mayoritas. Javanisme yang merupakan sisi etnisitas mensyaratkan konsekuensi terhadap berbagai lini kehidupan manusia bahkan yang paling dalam seperti agama. Semua sisi dimaksud adalah seluruhnya, bahkan keragaman budaya seluruhnya ditundukkan dalam perspektif mayoritas pada sisi standarisasi kuantitas seperti seberapa luas dan besar pengaruh suatu budaya yang berasal dari daerah tertentu. Hal ini dapat berakibat kontraproduktif pada tumbuh kembang kebudayaan lainnya.
Kedua, distorsi primordialitas. Javanisme atau lebih tepatnya Javacentrisme baik secara fisik berupa etnis mayoritas maupun bersifat makna terbukti berhasil membawa konsekuensi pada penyesuaian pada etnis lain terhadap kehendak atau kesepakatan yang ditentukan oleh mayoritas. Pada sisi agama misalnya, orang beragama akan ditanya apakah dia ikut Muhammadiyah, LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia), NU (Nahdlatul Ulama), PERSIS (Persatuan Islam) atau lainnya yang seluruhnya lahir di Jawa? Tidak semua orang beragama rela berorganisasi dengan mengatasnamakan agama sampai orang paling kota sekalipun.
Suatu yang pasti orang daerah meski telah fanatik beragama dan berIndonesia secara sekaligus akan kebingungan jika dipaksa menjawab pertanyaan tersebut.
Atas nama Indonesia mampu masuk sedalam mungkin ke sendi kehidupan setiap orang. Setiap warga negara ditundukkan pada paradigma mayoritas. Pada titik tertentu, orang desa bahkan dapat kebingungan ketiga mengikuti paradigma tersebut dalam beragama. Terhadap toleransi yang ditawarkan misalnya, orang pedalaman Sumatera yang tidak mengerti mengapa ada tempat ibadah yang dilarang dan bertentangan dengan integritas keimanannya di tanah kelahirannya. Pada saat yang sama dia harus menerima kebenaran pada keyakinan akan tolaran terhadap fenomena tersebut.
Ketiga, kompromi tidak kenal batas. Hal ini merupakan bagian tersulit untuk penyesuaian atas nama Indonesia. Setelah sisi spiritual berupa iman dan agama, kini nasionalisme ala Indonesia mensyaratkan kemampuan menerima pengolah-fungsian tanah kelahiran suatu masyarakat dalam kendali mayoritas.
Mari cermati poin terakhir ini pada ranah yang disebut “akar rumput”. Faktanya, program pemarataan pembangunan tidak dirasakan semua lapisan masyarakat. Jangkauan program nyatanya terfokus lagi-lagi pada paradigma mayoritas. Jangkauan terhadap daerah tertinggal masih kalah dibanding daerah transmigrasi baik terhadap SDM maupun SDA.
Hal ini diperumit oleh perilaku “standar ganda” sebagian masyarakat yang masih belum menyadari atau berkecenderungan untuk hidup berkelompok sesuai etnis atau kelompok agama masing-masing.
Pada ranah kelas menengah, kesempatan bekerja atau bersaing oleh orang daerah dalam ranah nasional cenderung di bawah mayoritas. Kondisi ini tampak pada usaha merangkul untuk berkembang bersama-sama oleh mayoritas berpotensi negatif jika berhenti sebatas slogan belaka.
Program prioritas untuk akses kesempatan sebenarnya bisa diwujudkan pada target persatuan bukan standar baku seperti tes psikologi dalam seleksi yang sudah barang tentu tidak sepenuhnya berlaku atau berhubungan dengan proses dalam bekerja, namun demikian kenyataannya.
Puncaknya pada ranah pengambilan keputusan atau kepemimpinan. Standar yang diberlakukan dan dianut selama ini menjadi bukti “gong” dari proses bernegara adalah pada paradigma mayoritas.
Kompromi sesungguhnya tampak pada kepemimpinan negara. Presiden yang terpilih mengharuskan dukungan terhadap setiap keputasannya baik memihak pada mayoritas maupun sebaliknya.
Kompromi terhadap suara mayoritas dengan menikmati setiap prosesnya atau mengusahakan pembelaan terhadap hak nenek moyang yang juga menjadi haknya dengan serinci mungkin.
Menghindari semangat yang muncul dari rasa benci dan permusuhan, menyuarakannya merupakan juga suatu kebenaran. Jika sisi primordial seperti unsur kemanusiaan dan keimanan sudah dilanggar, maka alasan apa yang dapat diterima untuk menderita atas nama negara?!
Artikel ini merupakan dari usaha membuka ruang untuk diskusi dengan menghindari sekecil mungkin penyelewangan terhadap pandangan yang berkaitan dengan persoalan dan potensi dari akibat menempuh jalan yang terlampau beresiko justru menambah persoalan serta agar dapat diberikan kesempatan.
Meski berpotensi tidak populer (viral), terlebih bagi siapa saja yang teridap spirit materialisme, namun materi yang diulas diharap dapat menjadi pengingat bahwa bernegara tidak semata kemajuan infrastruktur namun kesatuan sebagai warga negara dalam arti sesungguhnya, terima kasih!