Kepritoday.com – “Dan terjadi lagi…” Lirik lagu band NOAH itu rasanya menggambarkan dengan tepat kondisi Kepulauan Riau (Kepri) hari ini.
Setelah sempat meredup pasca tertangkapnya dua pejabat penting oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kini peredaran rokok tanpa cukai kembali menjamur. Warung-warung di Batam, Bintan, Karimun, Lingga, Tanjungpinang serta daerah lain kembali dipenuhi produk ilegal ini, seolah tidak pernah ada penindakan sebelumnya.
Kawasan yang awalnya dirancang sebagai zona perdagangan bebas, kini berubah menjadi ladang subur bagi mafia cukai. Publik yang sempat menaruh harapan pada penegakan hukum, kini bertanya: siapa lagi yang akan menyusul Den Yealta dan Apri Sujadi ke meja hijau?
Pada 2015, Den Yealta – eks Kepala BP Kawasan Tanjungpinang, memainkan kuota rokok secara sepihak. Ia menetapkan kuota hingga 359,4 juta batang, jauh di atas kebutuhan wajar yang hanya 51,9 juta batang. Dari kebijakan ini, ia diduga menerima suap Rp 4,4 miliar. Celah legal ini kemudian menjadi jalur resmi bagi masuknya rokok non-cukai ke Kepri.
Tak lama berselang, kasus serupa menyeret nama Apri Sujadi, Bupati Bintan sekaligus Kepala BP Bintan (Ex-Officio). Dari 2016 hingga 2018, ia dan bawahannya, Saleh Umar, disebut menerima suap masing-masing Rp 6,3 miliar dan Rp 800 juta untuk mengatur kuota rokok dan minuman keras secara tidak sah.
Namun, ironi terbesar justru muncul setelah kasus-kasus ini terbongkar. Alih-alih jera, praktik kotor tersebut seolah hidup kembali. Informasi yang diperoleh media ini menyebut, rokok ilegal kini diduga masuk dari Vietnam melalui jalur laut gelap ke Batam, lalu menyebar ke pulau-pulau lainnya. Perusahaan rokok yang ada di Batam pun banyak yang hanya “nampang papan nama”, minim pekerja, minim aktivitas produksi, diduga sekadar kamuflase.
Akibat dari praktik pembiaran sistemik ini, negara menanggung kerugian lebih dari Rp 500 miliar. Kawasan ekonomi bebas Kepri yang seharusnya mendongkrak ekspor dan industri, malah disulap jadi celah distribusi ilegal.
“Ini bukan lagi sekadar soal penerimaan negara, tapi juga bukti kehancuran sistem tata kelola kawasan perdagangan bebas”, ucap salah seorang LSM.
Pertanyaan kini menggantung di benak publik: Apakah KPK akan berhenti pada dua nama saja?
Banyak pihak menduga masih ada “pemain utama” di balik tirai yang belum tersentuh hukum. Mulai dari pejabat BP Kawasan yang menandatangani kuota tanpa landasan jelas, perusahaan penerima kuota dengan legalitas abu-abu, hingga oknum aparat keamanan yang diduga jadi beking jalur distribusi.
Sudah saatnya KPK dan aparat penegak hukum menggali lebih dalam. Jangan berhenti di permukaan. Bongkar jalur tikus, pelabuhan gelap, dan jaringan yang menyaru di balik nama-nama perusahaan legal.
Jika tidak, jangan heran jika nanti yang menyusul ke KPK bukan satu dua orang lagi, melainkan barisan panjang pejabat dan pengusaha yang selama ini nyaman dalam bayang-bayang.
Karena, “Separuh aku… dirimu.”
Tapi bagaimana jika separuh yang lain adalah kebusukan yang terus diwariskan?, antara impian masyarakat akan tata kelola yang bersih dan praktik busuk yang tak kunjung diberantas.
Hingga berita ini diterbitkan, media ini masih berupaya melakukan konfirmasi ke pihak pihak terkait.(wae)