Wamenkum dan Haris Azhar Debat RUU KUHAP di UII, Soroti Perlindungan HAM dan Peran Advokat

1 month ago 16

Wakil Menteri Hukum dan HAM RI, Edward O. S. Hiariej, menghadiri diskusi dan debat terbuka Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) bersama advokat dan aktivis HAM Haris Azhar, Sabtu (9/8/2025). Acara berlangsung di area Masjid Baitul Qohar, Yayasan Badan Wakaf, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.

Dalam forum tersebut, Edward menegaskan bahwa filosofi hukum acara pidana bukan untuk memproses tersangka semata, tetapi untuk melindungi hak asasi manusia (HAM) dari potensi kesewenang-wenangan negara.

“Oleh karena itu, ketika berbicara mengenai hak korban, hak tersangka, hak perempuan, hak saksi, hak disabilitas, itu semua akan kita tampung. Filosofi hukum pidana adalah untuk melindungi HAM dari kesewenang-wenangan individu,” ujar Edward, yang akrab disapa Prof. Eddy.

Ia menjelaskan, hukum acara pidana memuat dua kepentingan yang sering bertentangan, yakni pelapor dan terlapor. Karena itu, RUU KUHAP dirancang netral: di satu sisi memberi kewenangan aparat, namun di sisi lain mengontrol kewenangan itu demi menjaga HAM.

Untuk mencegah kriminalisasi, pemerintah mengusulkan agar advokat diposisikan sejajar dengan polisi dan jaksa. Dalam RUU KUHAP, peran advokat bersifat imperatif: setiap orang yang diproses hukum wajib didampingi advokat sejak tahap penyelidikan, yang berhak mengajukan keberatan dan memastikan keberatan itu tercatat dalam berita acara pemeriksaan.

Sementara itu, Haris Azhar menyoroti lemahnya pengawasan terhadap aparat penegak hukum atau judicial scrutiny. Menurutnya, KUHAP yang berlaku saat ini sudah usang dari segi terminologi, konsep pidana, dan kurang mengakomodasi restorative justice.

Haris mengusulkan agar pengungkapan kebenaran dimulai sejak tahap penyelidikan. Laporan fakta, baik perkara dilanjutkan maupun dihentikan, dapat menjadi standar pembelajaran hukum di Indonesia.

“Dia harus berbasis kepada kebenaran, ada truth yang diungkap, meskipun masih di penyelidikan. Penyidikan pun sudah menggunakan uang negara. Jadi harus ada laporan faktanya,” kata Haris.

Menanggapi hal itu, Edward sepakat pengungkapan kebenaran penting untuk kepastian hukum dan pembatasan penerapan restorative justice.

“Kalau tidak ada pengungkapan kebenaran, korban tidak memiliki kepastian hukum. Harus ada batasan agar perkara tidak bisa direstorasi seenaknya,” tegasnya.

Diskusi ini menjadi bagian dari upaya pemerintah dan masyarakat menggali masukan publik. RUU KUHAP, menurut Edward, masih terbuka untuk perdebatan. DPR bahkan akan menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) untuk menampung aspirasi.

“Kita punya catatan rapi siapa memberi masukan apa, kapan, dan bagaimana tindak lanjutnya. Pemerintah dan DPR wajib menjelaskan kepada publik alasan suatu usulan diakomodasi atau tidak. Itu makna meaningful participation,” pungkas Edward.

Read Entire Article
Kepri | Aceh | Nabire | |