Kepritoday.com – Dua proyek strategis Balai Pengelola Transportasi Darat (BPTD) Kelas II Kepulauan Riau (Kepri), pembangunan Gedung BPTD di Batam senilai Rp14,56 miliar dan Pelabuhan Roro Letung Tahap II di Anambas senilai Rp31,18 miliar, hingga kini menjadi polemik. Keterlambatan, dugaan penggunaan material di bawah standar, hingga indikasi maladministrasi membuat keduanya menuai kritik keras.
Di pusat pusaran masalah ini berdiri satu nama, Abraham Lucky Geraldo, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Kementerian Perhubungan Darat untuk kedua proyek. Sikap bungkamnya di tengah rentetan tuduhan membuat publik menilai ia “terkesan kebal hukum”.

Proyek di Batam yang dikerjakan PT Triderrick Sumber Makmur dijadwalkan rampung Desember 2024. Namun hingga Juni 2025, gedung mangkrak meski diresmikan simbolis pada Mei 2025 di tengah protes subkontraktor. Mereka menuntut pembayaran tunggakan Rp1,9 miliar.
Masalah teknis mencakup pemasangan ACP belum selesai, kebocoran atap merusak plafon, hingga penggunaan material di bawah spesifikasi tanpa adendum resmi. Pintu kaca dan aluminium diganti merek murah, paving blok diubah menjadi semenisasi, harga beton diduga dimark-up, dan instalasi plumbing bocor meski gedung baru.
Dugaan pencairan anggaran telah mencapai 100% pada akhir 2024, namun progres fisik hanya sekitar 60%. Subkontraktor menghentikan pekerjaan Juni 2025 dan melarang penggunaan alat mereka.

Proyek Rp31,18 miliar di Jemaja Timur ini digarap PT Samudera Anugrah Indah Permai. Agustus 2025, Camat Jemaja Timur Tetti Amalia dan Kades Kuala Maras Hendrika menemukan dua lubang besar di lantai beton akibat longsor tanah timbunan. Diduga pemadatan tanah tak sesuai standar dan penimbunan langsung ke laut menyebabkan kerusakan serta mengganggu aktivitas nelayan.
Sekretaris ALAM Eko Pratama menilai pengerjaan serampangan dan mendesak warga mengumpulkan bukti untuk penegakan hukum.
Meski namanya disebut dalam percakapan internal pekerja, Abraham tidak merespons konfirmasi media. Ketua ICTI Kepri, Kuncus, menilai sikap ini tidak kooperatif, “Seolah proyek ini memakai dana pribadi, bukan dana rakyat.” ICTI bahkan menduga adanya kolusi antara pejabat BPTD dan kontraktor, mendesak pemecatan Abraham dan Kepala BPTD Kepri Dini Kusumawati.
Kasus serupa di BPTD Riau, di mana pejabatnya menjadi tersangka korupsi, dijadikan pembanding. “Kapan giliran BPTD Kepri?” sindir Kuncus.
ICTI telah melapor ke Kejati Kepri sejak April 2025, namun tak ada kemajuan. Dirjen Perhubungan Darat AAN Suhanan memberikan atensi Juli 2025 namun belum ada langkah konkret.
Keterlambatan proyek gedung menghambat layanan publik dan menimbulkan kerugian negara lebih dari lima bulan. Subkontraktor terlilit utang, puluhan pekerja belum dibayar. Di Anambas, nelayan rugi akibat laut keruh, mengancam penghasilan mereka.
Sampai Agustus 2025, misteri sikap diam Abraham Lucky Geraldo masih menggantung. Publik menanti apakah hukum akan benar-benar berjalan, atau “kebal hukum” kembali menjadi kenyataan di proyek-proyek BPTD Kepri.(wae)