Memahami Perbedaan Wihara dan Klenteng

2 months ago 25

Beberapa waktu lalu, saya kembali menyaksikan tayangan TV yang menunjukkan adanya kebingungan, baik dari wartawan maupun narasumber, mengenai perbedaan antara Wihara dan Klenteng. Berdasarkan pemahaman saya, berikut adalah penjelasannya:

Wihara: Tempat Ibadah Agama Buddha

Secara prinsip, nama tempat ibadah agama Buddha yang baku adalah:

  • Arama
  • Vihara (Wihara)
  • Cetiya

Wihara adalah nama resmi dan tepat untuk tempat ibadah umat Buddha.

Klenteng: Tempat Ibadah Multi-Agama dan Sejarah Orde Baru

Klenteng sebenarnya bukan tempat ibadah khusus agama Buddha. Kerancuan ini muncul akibat kebijakan politik Orde Baru (Rezim Soeharto). Pada masa itu, banyak klenteng dipaksa mengubah namanya menjadi Vihara.

  • Beberapa pengurus langsung mengikuti saran tersebut dan mengganti nama menjadi Vihara (Wihara).
  • Namun, ada juga yang menolak penggunaan nama Vihara (Wihara) karena merasa tidak sesuai. Mereka memilih menggunakan nama TITD (Tempat Ibadah Tri Dharma), seperti yang diusulkan oleh Bapak Ong Kie Tjay dari Surabaya pada tahun 1967.

Mengenal Tridharma (Sam Kauw)

Organisasi Sam Kauw Hwee didirikan oleh Kwee Tek Hoay di Batavia pada tahun 1934, sebelum kemerdekaan Republik Indonesia.

Saat ini, secara kelembagaan, Sam Kauw memang berada di bawah pembinaan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha (Dirjen Bimas Buddha), Kementerian Agama RI.

Secara keimanan, Sam Kauw (Tridharma) sejatinya bukan merupakan sekte atau subsekte dari Agama Buddha, Agama Khong Hu Cu, atau Agama Tao. Sekte/mazhab dari Agama Buddha meliputi:

  • Theravada
  • Mahayana
  • Tantrayana / Vajrayana Yang direpresentasikan oleh Sangha Theravada, Sangha Mahayana, dan Sangha Tantrayana.

Lembaga dan Rohaniwan Tridharma

Secara kelembagaan, Majelis Tridharma dan Klenteng dengan nama TITD (Tempat Ibadah Tri Dharma) terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan dan tempat ibadah yang dibina oleh Dirjen Bimas Buddha, Kementerian Agama RI.

Berdasarkan Dharmaniyoga (Fatwa) Dewan Pandita Tridharma, Tridharma/Sam Kauw adalah agama yang penghayatannya menyatu dalam ajaran Sakyamuni Buddha, Khong Hu Cu, dan Lao Zi/Tao.

Rohaniwan Tridharma/Sam Kauw meliputi:

  • Maha Pandita
  • Pandita Utama
  • Pandita Madya
  • Pandita Muda
  • Dharmaduta (Juru Penerang)
  • Dharmacaraka (Pengasuh Sekolah Minggu & Remaja)

Dewan Pandita Tridharma menetapkan tata cara ibadah dan kebaktian Tridharma, yang tentu berbeda dengan tata cara ibadah agama Buddha, Khong Hu Cu, atau Tao secara terpisah.

Umat Tridharma umumnya memiliki KTP dengan status agama Buddha. Ada pula yang berstatus agama Khong Hu Cu atau Aliran Kepercayaan. Status Agama Tao pada KTP belum dimungkinkan oleh Undang-Undang Kependudukan RI.

Karakteristik dan Penamaan Klenteng

Penamaan Klenteng adalah ciri khas di Indonesia; negara lain tidak menggunakan sebutan ini. Nama “Klenteng” sendiri berasal dari bunyi bel dan Bok Khi (Mu Yi) / batok kayu yang sering terdengar saat Liam Keng/Nyam Kin/Nien Jing (membaca sutra/kitab), yaitu:

TENG TENG TENG…

TOK TOK TOK…

TENG TENG TENG…

TOK TOK TOK…

Bunyi-bunyian inilah yang membuat masyarakat sekitar menyebut bangunan tersebut sebagai Klenteng.

Nama asli klenteng biasanya disebut sebagai:

  1. Bio / Miau / Kuil: Dengan pujaan utama di altar tengah adalah Dewa/Dewi (Sin Beng/Sen Ming) bercirikan Taois, Buddhis Mahayana, atau Confucianis.
  2. Tang / Aula: Dengan pujaan utama di altar tengah adalah Buddha/Bodhisatva Mahasatva dari Buddhis Mahayana.
  3. Si / Vihara (Wihara): Dengan pujaan utama di altar tengah adalah Buddha/Bodhisatva Mahasatva dari Buddhis Mahayana.
  4. Kiong / Qiong / Istana: Dengan pujaan utama di altar tengah adalah Dewa Dewi (Sin Beng/Sen Ming) dari Taois.

Pada umumnya, di bawah pujaan utama di altar tengah, selalu terdapat altar untuk:

  • To Te Kong / Tu Ti Pa Kung dan/atau
  • To Te Ma / Tu Ti Pa Po dan/atau
  • Pek Houw / Dewa Macan Putih dan/atau
  • Pek Coa / Dewa Ular Putih (Catatan: Pek Hauw adalah manifestasi dari To Te Kong, dan To Te Kong adalah manifestasi dari Hok Tek Ceng Sin.)

Altar lain di kiri kanan klenteng biasanya juga diisi oleh Dewa Dewi berciri Taois, Buddhis, atau Confucianis.

Kadangkala juga terdapat altar sesepuh/datuk/mbah yang dihormati masyarakat lokal, seperti Eyang Surya Kencana, Prabu Siliwangi, Aki Semar, atau datuk/mbah lainnya.

Struktur Peribadatan di Klenteng

Yang paling utama dan pertama di setiap klenteng adalah:

  • Hio Lo Pertama: Berada di pintu gerbang utama, digunakan untuk bersyukur dan memuliakan THIAN / TIKONG / ALAM SEMESTA SEBAGAI SUMBER & ASAL MUASAL KEHIDUPAN (CAUSA PRIMA / CAUSA FINAL).
  • Hio Lo Kedua: Biasanya berada di teras pintu luar, ditujukan untuk SAM KWAN TAY TE / SAN GUAN DA DI, sebagai manifestasi Alam Semesta yang meliputi Air (Sui Kwan Tay Te), Bumi (Te Kwan Tay Te), dan Langit (Tian Kwan Tay Te). (Penting untuk dicatat: Thian/Tikong “BUKAN” Giok Hong Siang Te / Yi Huang Da Di / Dewa Langit, dan Giok Hong Soang Te / Yi Huang Da Di / Dewa Langit “BUKAN” Thian/Tikong.)

Setelah Hio Lo Pertama dan Kedua, barulah terdapat Hio Lo Ketiga di altar tengah sebagai pujaan utama, dan seterusnya.

Semua teras depan klenteng selalu dilengkapi dengan Tempat Pembakaran Kertas Emas yang disebut Kim Coa / Siu Kim / Toa Kim. Kertas Emas ini dibakar sebagai pertanda bahwa persembahyangan telah selesai dilakukan, dengan harapan doa/harapan baik dapat terkabul.

Hampir semua klenteng biasanya memiliki CIAM SI yang terbuat dari batang kayu/bambu (dengan nomor). Ini berfungsi sebagai petunjuk bagi umat yang ingin menerima nasihat/konsultasi dari Dewa Dewi (Sin Beng/Sen Ming) di altar utama. Getaran hati dan doa umat kepada Sin Beng/Sen Ming akan direpresentasikan saat menerima batang Ciam Si tersebut.

Karakteristik Klenteng Tua dan Kepemilikan

Jarang ditemukan klenteng tua (dibangun sebelum tahun 1945) yang altarnya hanya berisi satu unsur murni (Taois saja, Buddhis Mahayana saja, atau Confucianis saja). Altar pujaan di klenteng tua selalu sekaligus bercirikan unsur Taois, Buddhis Mahayana, dan Confucianis. Oleh karena itu, klenteng tidak bisa diklaim hanya milik Taois, Confucianis, atau Buddhis Mahayana saja. Klenteng paling sesuai disebut sebagai Tempat Ibadah Tri Dharma.

Saat ini, tidak semua klenteng, meskipun altarnya bercirikan Tridharma, secara otomatis berada di bawah pembinaan Majelis Tridharma atau Lembaga Tridharma. Banyak juga klenteng yang tidak bernama TITD, melainkan bernama Vihara (Wihara) dan dibina oleh suatu Majelis Agama Buddha. Sementara itu, ada juga klenteng yang independen, artinya tidak berada di bawah pembinaan majelis apa pun.

Kondisi ini mulai memicu konflik horizontal di antara sesama pengurus, umat, dan warga Tionghoa dalam memperebutkan status kepemilikan dan pembinaan suatu klenteng. Setiap pengurus klenteng/TITD bebas untuk menentukan sikap, mau bergabung ke lembaga mana pun.

Penting untuk diingat bahwa Klenteng/TITD bukan milik organisasi Buddha, Khong Hu Cu, atau Tao, melainkan milik masyarakat bersama-sama.

Tantangan dan Tujuan Klenteng

Nasi sudah menjadi bubur. Sejarah dan politik Orde Baru telah terjadi, dan banyak klenteng yang kini bernama Vihara (Wihara). Oleh karena itu, semua kembali kepada pengurus pengelola masing-masing. Diskusi dan rapat internal perlu dilakukan untuk kebaikan umat, apakah akan tetap menggunakan nama Vihara (Wihara), Klenteng, TITD, Bio, Tang, Si, atau Kiong.

Apa pun nama yang diberikan, yang paling penting adalah fungsi dan kegunaan Klenteng, yaitu untuk:

  1. Memuliakan Kebajikan Semesta.
  2. Menyebarkan Ajaran Kebaikan.
  3. Membantu kesejahteraan umat.
  4. Menjalin kerukunan sesama.
  5. Menjaga Etika & Sopan Santun.
  6. Merawat Budaya sebagai bagian dari kebhinekaan, karena keberadaan Klenteng di Nusantara sudah lebih dari 1.000 tahun dan telah banyak berakulturasi dengan budaya lokal.

Semoga penjelasan ini bermanfaat dan memberikan pemahaman yang lebih jelas mengenai perbedaan antara Wihara dan Klenteng.

Ditulis Oleh: Simon Awantoko

Disadur dari Marga Singgih

Read Entire Article
Kepri | Aceh | Nabire | |