Kepritoday.com — Kasus dugaan mafia tanah di Jalan WR Supratman, Tanjungpinang, kembali mencuat. Seperti dilansir dari laman Radar Kepri, meski papan bertuliskan “Lahan Ini Dalam Pengawasan Satreskrim Polresta Tanjungpinang” masih berdiri di lokasi sengketa, warna papan kuning mencoloknya kini memudar. Bersamaan dengan itu, harapan akan kejelasan hukum dalam kasus ini pun turut meredup.
Korban Masih Menggugat Keadilan
Lahan seluas 4.812,5 meter persegi tersebut tercatat atas nama almarhum Go Asai dan ahli warisnya, Ani alias Seng Hong, berdasarkan alas hak. Ani disebut telah menyampaikan bahwa dirinya tidak pernah menjual atau mengalihkan kepemilikan lahan tersebut kepada pihak mana pun.
Namun, muncul klaim dari seseorang bernama Haldy Chan, yang mengaku telah membeli tanah itu dari pihak ketiga. Keberadaan dua klaim kepemilikan inilah yang kemudian menjadi titik awal dugaan adanya sindikat pemalsuan dokumen pertanahan, yang hingga kini belum menemui penyelesaian hukum.
Dokumen Palsu dan Sertifikat Ilegal Diduga Digunakan
Masih menurut laporan Radar Kepri, proses balik nama yang dilakukan oleh pihak pengklaim disebut melibatkan dokumen yang diduga palsu, termasuk sertifikat tanah, digital signature, serta cap resmi dari kantor kecamatan. Informasi yang dihimpun media tersebut juga menyebut bahwa data administratif itu tidak tercatat di instansi resmi.
Dalam hal ini, ketentuan pidana dalam Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan dokumen dapat menjerat pelaku dengan hukuman penjara hingga enam tahun. Sedangkan pihak yang membeli atau menerima aset hasil kejahatan dapat dijerat Pasal 480 KUHP tentang penadahan, dengan ancaman hukuman hingga tiga tahun penjara.
Penyidikan Belum Menetapkan Tersangka
Kasus ini telah dilaporkan secara resmi ke Polresta Tanjungpinang melalui LP/B/159/2023/SPKT/Polresta Tanjungpinang/Polda Kepri tertanggal 8 September 2023. Meski telah dinaikkan ke tahap penyidikan, namun hingga berita ini diturunkan, belum ada satu pun pihak yang ditetapkan sebagai tersangka.
Dalam konfirmasi yang dilakukan Radar Kepri pada 6 Oktober 2024, Kabidhumas Polresta saat itu, Iptu Geovani, membenarkan bahwa perkara tersebut telah berada dalam proses penyidikan. Namun, sejak saat itu, tidak ada perkembangan resmi yang diumumkan ke publik.
Upaya lanjutan dari Radar kepri untuk mendapatkan pernyataan dari pejabat Humas Polresta yang sekarang, Iptu Syahrul Damanik, juga belum membuahkan hasil. Pesan konfirmasi yang dikirimkan tak mendapat respons.
Ahli Waris Terus Menggugat, Publik Desak Transparansi
Di sisi lain, Ani alias Seng Hong, selaku ahli waris yang merasa dirugikan, menegaskan bahwa ia akan terus menuntut haknya. Dalam pernyataannya, Ani meminta negara hadir menegakkan hukum
“Saya hanya meminta negara menjalankan fungsinya: melindungi hak warga dan menjerat mafia tanah sesuai hukum,” ujarnya.
Sementara itu, seorang pengamat hukum agraria yang enggan disebutkan namanya menilai bahwa lambannya proses penanganan perkara ini justru memperlemah kepercayaan masyarakat terhadap penegak hukum.
“Jika memang ada indikasi pidana, maka pihak kepolisian harus segera menetapkan tersangka dan menyerahkan berkas ke penuntutan. Jika terbukti, pelaku mesti dipidana secara tegas,” ucapnya.
Publik Berhak Mendapat Kepastian
Hingga kini, papan pengawasan yang berdiri di samping mess Polresta Tanjungpinang hanya menjadi pengingat yang semakin pudar tentang perkara hukum yang tak kunjung selesai. Dalam suasana yang semakin jenuh, masyarakat dan korban terus berharap agar penegakan hukum tidak hanya berhenti di papan peringatan, tapi benar-benar menyentuh akar masalah: sindikat mafia tanah yang selama ini bergerak dalam bayang-bayang.
Kasus sengketa lahan di Jalan WR Supratman Tanjungpinang, yang diduga melibatkan mafia tanah, belum menemui kejelasan meski sudah masuk tahap penyidikan. Dengan dugaan dokumen palsu dan penadah yang bebas berkeliaran, korban terus menuntut keadilan. Publik kini menagih transparansi dan tindakan tegas agar mafia tanah tak terus menjamur tanpa konsekuensi hukum.(Red)