Aktor Ketika Cinta Bertasbih, Ajak Dai Muda Kuasai Media Digital dan Film untuk Dakwah

1 month ago 18

Nama M. Cholidi Asadil Alam mungkin sudah tak asing di telinga generasi awal 2000-an. Aktor yang melejit lewat peran utamanya dalam film *Ketika Cinta Bertasbih* ini kini tak hanya dikenal sebagai seniman, tapi juga aktif berdakwah. Dalam pertemuan hangat bersama 200 calon dai muda di Asrama Haji Pondok Gede, Kamis (7/8/2025), Cholidi berbagi pesan yang sederhana namun mengena: *kuasai media, atau kita akan tertinggal dalam dakwah.*

“Media digital itu senjata kita. Kalau kita enggak pakai, orang lain yang akan pakai untuk narasi mereka,” ujarnya dengan penuh semangat di hadapan para peserta dari berbagai penjuru Indonesia. Kalimat itu bukan sekadar teori—baginya, ini adalah pengalaman nyata.

Cholidi mengajak para dai muda untuk melihat film dan media bukan sebagai hiburan semata. “Film itu media ilmiah. Ia bisa membentuk cara pandang, menggugah tindakan, bahkan mengubah gaya hidup,” jelasnya. Ia kemudian menyinggung bagaimana film yang pernah ia bintangi, *Ketika Cinta Bertasbih*, memberi dampak luar biasa pada masyarakat.

Dengan mata berbinar, ia bercerita tentang perjalanannya ke Hong Kong untuk berdakwah. “Ada orang tua yang datang ke saya, mereka bilang anaknya dinamai *Nasya* karena terinspirasi dari film itu. Bayangkan, sebuah nama yang lahir dari cerita di layar.”

Tak berhenti di situ, pengalaman serupa juga terjadi di Purwakarta. Saat tengah mencoba mobil baru, ia didatangi seorang warga. “Orang itu bawa bayi. Dia bilang, ‘Ini anak saya, saya kasih nama Muhammad Cholidi Asadil Alam.’ Lengkap banget namanya. Saya sampai bilang, harusnya saya dapat royalti dong,” ujarnya sambil tertawa—yang langsung disambut tawa riuh para peserta.

Ia lalu menekankan bahwa kekuatan film terletak pada daya sentuh emosionalnya. “Film bukan cuma membuat kita dikenal, tapi juga dikenang. Dan itu bisa menjadi jalur dakwah yang sangat kuat kalau diarahkan dengan benar.”

Sebagai seorang akademisi, Cholidi juga memaparkan struktur dalam dunia komunikasi massa. Ia menjelaskan bahwa sinematografi atau film berada di puncak hierarki konten digital. Di bawahnya ada trailer, teaser, lalu turun ke video pendek seperti konten TikTok atau media sosial lainnya.

“Kalau film bisa satu jam, trailer cukup satu menit, dan teaser hanya 10 detik. Tapi semuanya punya potensi untuk menyampaikan pesan dakwah. Kuncinya ada di niat dan strategi,” tegasnya.

Cholidi juga membagikan kebanggaannya pernah menjadi satu-satunya pembicara dari Indonesia dalam forum internasional pasca-Muktamar Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Makassar. Dalam forum yang dihadiri perwakilan dari Jepang, Australia, Singapura, dan Malaysia itu, ia membawakan materi tentang film sebagai media ilmiah—dengan bahasa Inggris.

Tak hanya di panggung-panggung besar, selama dua tahun terakhir ia juga aktif berdiskusi dan berdakwah di berbagai komunitas, bahkan di restoran milik diaspora Indonesia di luar negeri. Semua itu ia lakukan dengan satu tujuan: menyampaikan nilai-nilai Islam secara damai, inklusif, dan relevan dengan zaman.

“Saya ingin bilang ke teman-teman semua, jangan takut masuk ke media. Jadi aktor boleh, influencer boleh, asal niatnya dakwah. Karena hari ini, ruang dakwah bukan cuma di mimbar—tapi juga di layar, di feed, di story, dan di YouTube,” tutupnya dengan penuh semangat.

Program Pembibitan Calon Dai Muda Tahun 2025 ini diselenggarakan oleh Direktorat Penerangan Agama Islam, Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama. Dengan peserta dari seluruh provinsi, program ini bertujuan mencetak dai-dai muda yang tak hanya moderat dan adaptif, tapi juga siap berdakwah di era digital dengan pendekatan yang segar dan berdampak.

Read Entire Article
Kepri | Aceh | Nabire | |