Oleh: Teddy Maembong
Sebagai bagian dari keluarga besar ASN di Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau, saya tentu mendukung upaya untuk meningkatkan kedisiplinan pegawai. Itulah yang menjadi tujuan Sistem Absensi SIAP Kepri, sebuah aplikasi yang memantau kehadiran ASN dan PPPK secara digital.
Namun, dari pengalaman sehari-hari, saya melihat bahwa niat baik ini belum sepenuhnya sejalan dengan kenyataan di lapangan. Sistem ini terlalu kaku, seakan lupa bahwa pekerjaan kami tidak selalu berlangsung di balik meja dan dalam radius GPS tertentu.
Dalam praktiknya, penilaian disiplin sekarang bergantung pada data absensi di aplikasi. Masalahnya, tidak semua aktivitas kerja bisa tercatat di sana. Ada hari-hari di mana kami ditugaskan keluar kantor, menghadiri rapat, atau menangani urusan mendesak di luar—tugas yang sama pentingnya dengan duduk di meja kerja. Tetapi karena tidak melakukan absen langsung di aplikasi, catatan kedisiplinan kami menjadi buruk.
Lebih memprihatinkan lagi, kendala teknis kerap menjadi “penyebab” kami dinilai tidak disiplin. Sinyal internet yang tak stabil, titik GPS yang meleset, atau aplikasi yang mendadak error, sering kali membuat absensi gagal terekam. Padahal, pekerjaan tetap kami jalankan dengan penuh tanggung jawab.
Bagi saya, disiplin bukan sekadar hadir tepat waktu atau berada di titik koordinat yang sesuai. Disiplin adalah soal komitmen pada tugas, kesediaan hadir secara penuh, baik fisik maupun pikiran dan memberi kontribusi nyata. Ketika penilaian disiplin hanya dilihat dari data digital, kita kehilangan sisi kemanusiaan dari pekerjaan ini.
Saya tidak menolak digitalisasi. Justru, saya percaya teknologi bisa membantu kerja birokrasi menjadi lebih cepat dan rapi. Tapi, Sistem Absensi SIAP Kepri sebaiknya menjadi alat pendukung, bukan satu-satunya hakim yang menentukan nilai disiplin.
Perlu ada mekanisme verifikasi, ruang klarifikasi, dan pertimbangan kondisi lapangan. Dengan begitu, pegawai yang bekerja dengan integritas tetap mendapat pengakuan meski pekerjaannya tidak selalu bisa diukur dengan klik di aplikasi.
Filsuf Martin Heidegger pernah mengatakan bahwa teknologi bisa menjadi Ge-stell—sebuah kerangka yang memaksa realitas menyesuaikan diri pada format yang kaku. Saya rasa, SIAP Kepri sedang berada di titik itu. Kita harus mengembalikannya menjadi alat yang melayani manusia, bukan memaksa manusia menyesuaikan diri secara buta.
Yang kita butuhkan adalah humanisme digital, sistem yang mengakui manusia bukan hanya sebagai deretan data, melainkan sebagai pribadi yang punya tanggung jawab, dedikasi, dan rasa. Dengan begitu, birokrasi kita bisa lebih efisien tanpa kehilangan rasa keadilan dan martabat.
Karena pada akhirnya, disiplin bukan cuma soal hadir di titik yang ditentukan, tetapi soal hadir sepenuh hati di setiap tugas yang kita emban.
Penulis adalah ASN di Lingkungan Pemprov Kepri