Puncak, 16 Juni 2025 – Di tengah derasnya konflik yang masih membara di Kabupaten Puncak, seberkas harapan kecil terus menyala dalam diri seorang anak bernama Deis Murib. Di usianya yang baru menginjak 12 tahun, Deis menjadi simbol keteguhan dan semangat juang generasi muda Papua yang tak ingin menyerah pada keadaan.
Deis Murib sebelumnya adalah pelajar Sekolah Dasar di Gome, Kabupaten Puncak. Setiap pagi, ia menempuh perjalanan sejauh lima kilometer melewati jalanan berlumpur demi menuntut ilmu. Di balik tubuh kecilnya, tertanam cita-cita besar dan keyakinan kuat bahwa pendidikan adalah satu-satunya jalan untuk mengubah nasib—bukan hanya bagi dirinya, tetapi juga untuk kampung halamannya.
“Saya punya beban moril, membalas budi bagi orang tua dan kampung saya. Kalau saya berhasil, saya mau kembali bangun kampung kecil ini,” ucap Deis polos, sembari menggaruk kepala sesuai keterangan tertulis kepada wartawan Senin, (16/6/2025)
Namun harapan itu kini tengah diuji. Konflik yang berkecamuk memaksa Deis dan keluarganya mengungsi. Sekolahnya dibakar, dan gedung SMP di sekitar Gome bahkan dijadikan pos militer. Aktivitas belajar dihentikan, kehidupan berubah drastis. Di tanah pengungsian, akses pendidikan terputus, dan kegiatan sederhana seperti membaca buku atau bermain bersama kerabat pun menjadi kemewahan yang sulit diraih.
Dilema Anak Kecil di Tanah Konflik
Dalam pikirannya yang masih belia, Deis bergulat dengan pilihan hidup yang begitu dewasa: jika konflik tak kunjung reda, ia siap angkat senjata dan bergabung dengan para gerilyawan di rimba Papua. Namun, jika damai kembali datang, ia ingin melanjutkan pendidikan dan memperjuangkan perubahan lewat pena, bukan senjata.
Dampak konflik terhadap Deis sangat nyata:
-
Kehilangan rasa aman dan kepastian masa depan
-
Putus sekolah dan hilangnya rutinitas belajar
-
Terbatasnya fasilitas dasar dan akses kesehatan
-
Ancaman terhadap kebebasan dan psikologis anak-anak
-
Instrumentalisasi ruang belajar untuk kepentingan militer
Meski begitu, Deis tidak menyerah. Di dalam noken kecil rajutan neneknya, ia menyimpan buku berjudul “Minum Air dari Sumur Kita Sendiri” karya Dr. Sofian Yoman. Buku itu selalu dibawanya ke mana pun ia pergi.
“Saya baca buku ini ulang-ulang. Kalau saya tidak membaca, saya tidak bisa belajar,” katanya sambil tersenyum tipis.
Simbol Harapan di Tengah Krisis
Di pengungsian, Deis perlahan dikenal sebagai pemimpin kecil di antara anak-anak sebaya. Ia mengajak teman-temannya membaca dan tetap menjaga semangat meskipun sekolah telah sirna. Ia menjadi suara bagi kerabatnya, memperjuangkan hak-hak dasar mereka sebagai warga sipil.
Bagi Deis, pendidikan bukan hanya soal sekolah. Itu adalah simbol martabat. Jalan menuju masa depan yang bebas, adil, dan bermartabat.
“Pendidikan adalah jalan untuk mengubah nasib kami. Saya ingin jadi orang yang kembali dan membangun kampung saya.”
Seruan untuk Semua Pihak
Kisah Deis Murib adalah pengingat keras bahwa konflik di Papua bukan hanya angka-angka dan statistik politik, melainkan tentang anak-anak yang kehilangan masa depan. Tentang harapan yang terancam padam. Tentang manusia-manusia kecil yang seharusnya tumbuh dalam damai, bukan dalam trauma.
Tulisan ini ditulis oleh Mis Murib, aktivis HAM dan penggiat literasi Papua, sebagai bentuk seruan kepada semua pemangku kepentingan untuk mendengar suara-suara yang nyaris tak terdengar—suara Deis Murib dan ribuan anak Papua lainnya.
[Nabire.Net/Musa Boma]
Post Views: 15