Nabire, 17 Juni 2025 – Sejak ditetapkan sebagai Daerah Otonomi Baru (DOB) pada tahun 2008, Kabupaten Dogiyai di Provinsi Papua Tengah terus menghadapi berbagai masalah sosial yang saling berkaitan. Mulai dari pembakaran fasilitas umum, peredaran minuman keras, judi togel, kekerasan bersenjata, hingga isu diskriminasi pendidikan terhadap anak-anak asli Dogiyai di Nabire, semua menjadi potret luka yang belum sembuh.
Kepala Suku Besar Papua Tengah, Melkias Keiya mengungkapkan, permasalahan yang terus terjadi ini tidak bisa hanya ditimpakan kepada satu kelompok saja. Realitanya, semua pihak terlibat — baik oknum orang asli Dogiyai, pendatang, aparat keamanan, ASN, maupun kelompok bersenjata. Masing-masing, secara langsung maupun tidak, berperan dalam menciptakan dan membiarkan kondisi ini terus memburuk.
“Penyakit sosial berkembang subur karena tidak ada keseriusan bersama untuk menyelesaikannya,” ujarnya.
Fenomena seperti pencurian, konsumsi alkohol, dan pembakaran yang dilakukan oleh individu maupun yang disponsori pihak tertentu menimbulkan pertanyaan besar: siapa aktor di balik layar yang membiayai dan melindungi kejahatan sosial ini?
Diskriminasi Pendidikan: Ancaman terhadap Masa Depan Anak-anak Dogiyai
Ia menuturkan, salah satu isu paling memprihatinkan yang mencuat belakangan ini adalah dugaan adanya diskriminasi terhadap anak-anak asli Dogiyai dalam dunia pendidikan di Nabire. Mereka diduga dilarang atau dibatasi haknya untuk bersekolah di SD, SMP, SMA, bahkan perguruan tinggi di wilayah tersebut.
Jika hal ini benar terjadi, maka tindakan tersebut melanggar UUD 1945, nilai-nilai kemanusiaan, dan semangat kesatuan NKRI. Pendidikan adalah hak semua warga negara tanpa memandang latar belakang suku atau asal daerah.
Untuk itu, ia mendesak:
-
Pimpinan sekolah
-
Dinas Pendidikan Kabupaten & Provinsi
-
Kepala Suku Besar Meepago
-
Kepala Dinas Provinsi Papua Tengah
-
Lembaga HAM & organisasi masyarakat sipil
…untuk segera melakukan tindakan nyata agar diskriminasi ini dihentikan dan tidak meluas menjadi konflik sosial yang lebih besar.
“Sekolah adalah tempat membangun masa depan, bukan tempat memperpanjang diskriminasi,” tandasnya.
Ajakan untuk Menjadi Bagian dari Solusi
Masyarakat, baik orang asli Papua maupun pendatang, diimbau untuk tidak saling menyalahkan satu sama lain. Justru kini saatnya semua pihak menyadari bahwa mereka bagian dari masalah dan karena itu harus juga menjadi bagian dari solusi.
Dogiyai bukan tempat buangan. Ini adalah tanah kelahiran masyarakat yang bermartabat dan berharga. Penderitaan mereka bukan untuk diremehkan, dan hak mereka di tanah sendiri tidak boleh diabaikan.
Penutup: Seruan untuk Perdamaian dan Keadilan
“Kalau diskriminasi terus dibiarkan, maka benih-benih konflik akan tumbuh dan memisahkan kita. Kalau keadilan ditegakkan, maka rekonsiliasi bisa dimulai dari sekarang,” pungkasnya.
Seruan ini disampaikan demi masa depan Dogiyai yang lebih damai, adil, dan sejahtera dalam bingkai Papua Tengah yang bersatu.
[Nabire.Net]
Post Views: 45